Pages

Subscribe:

Labels

Sabtu, 10 Desember 2011

motivasi


Kata-Kata bijak dengan bahas inggris, dengan kata bijak bahasa inggris ke indonesia, kumpulan kata-kata bijak lengkap dalam bahasa inggris

Smile is the shortest distance between two people.
Senyum adalah jarak yang terdekat antara dua manusia.

Real power does not hit hard , but straight to the point.
Kekuatan yang sesungguhnya tidak memukul dengan keras , tetapi tepat sasaran.

You have to endure caterpillars if you want to see butterflies.
Anda harus tahan terhadap ulat jika ingin dapat melihat kupu-kupu.

Only the man who is in the truth is a free man.
Hanya orang yang berada dalam kebenaranlah orang yang bebas.

Every dark light is followed by a light morning.
Malam yang gelap selalu diikuti pagi yang tenang.

Laughing is healthy, especially if you laugh about yourself.
Tertawa itu sehat, lebih-lebih jika mentertawakan diri sendiri.

The danger of small mistakes is that those mistakes are not always small.
Bahayanya kesalahan-kesalahan kecil adalah bahwa kesalahan-kesalahan itu tidak selalu kecil.

To be silent is the biggest art in a conversation.
Sikap diam adalah seni yang terhebat dalam suatu pembicaraan.

The worst in the business world is the situation of no decision.
Yang terparah dalam dunia usaha adalah keadaan tidak ada keputusan.

Dig a well before you become thirsty.
Galilah sumur sebelum Anda merasa haus.

Good manners consist of small sacrifices.
Sopan–santun yang baik yang terdiri dari pengorbanan–pengorbanan kecil.

Ideas are only seeds, to pick the crops needs perspiration.
Gagasan-gagasan hanyalah bibit, menuai hasilnya membutuhkan keringat.

Laziness makes a man so slow that pov erty soon overtake him.
Kemalasan membuat seseorang begitu lamban sehingga kemiskinan segera menyusul.

Those who are able to control their rage can conquer their most serious enemy.
Siapa yang dapat menahan marahnya mampu mengalahkan musuhnya yang paling berbahaya.

Knowledge and skills are tools, the workman is character.
Pengetahuan dan keterampilan adalah alat, yang menentukan sukses adalah tabiat.

A healthy man has a hundred wishes, a sick man has only one.
Orang yang sehat mempunyai seratus keinginan, orang yang sakit hanya punya satu keinginan

A medical doctor makes one healthy, the nature creates the health.
seorang dokter menyembuhkan, dan alam yang menciptakan kesehatan.

The man who says he never has time is the laziest man.
orang yang mengatakan tidak punya waktu adalah orang yang pemalas.

Politeness is the oil which reduces the friction against each other.
Sopan-santu adalah ibarat minyak yang mengurangi gesekan satu dengan yang lain.

A drop of ink can move a million people to think.
Setetes tinta bisa menggerakan sejuta manusia untuk berpikir.

We can take from our life up to what we put to it.
Apa yang bisa kita dapat dari kehidupan kita tergantung dari apa yang kita masukkan ke situ.

Real power does not hit hard, but straight to the point.
Kekuatan yang sesungguhnya tidak memukul dengan keras, tetapi tepat sasaran

If you leave everything to your good luck, then you make your life a lottery.
Jika anda mengantungkan diri pada keberuntungan saja, anda membuat hidup anda seperti lotere.

Being careful in judging an opinion is a sign of wisdom.
Kehati-hatian dalam menilai pendapat orang adalah ciri kematangan jiwa.

You recognize birds from their singging, you do people from their talks.
Burung dikenal dari nyanyiannya, manusia dari kata-katanya.

One ounce of prevent is equal to one pound of medicine.
Satu ons pencegahan sama nilainya dengan satu pon obat.

The person who says something can’t be done is often interrupted by someone else doing it.
Orang yang mengatakan tidak dapat dilakukan sesuatu hal adalah yang sering terganggu oleh orang lain melakukannya.

You see things that are and say WHY ? But I dream things that never were and say WHY NOT ?
Anda sedang melihat sesuatu hal dan berkata MENGAPA? Tapi aku bermimpi hal-hal yang tidak pernah ada dan berkata MENGAPA TIDAK?

Behold the turtle. He makes progress only when he sticks his neck out.
Lihatlah kura-kura. Dia membuat kemajuan hanya bila ia menjulurkan lehernya keluar.

Remember that what’s right isn’t always popular and what is popular isn’t always right.
Ingatlah bahwa apa yang benar tidak selalu populer dan apa yang populer tidak selalu benar.

If you want to do something and you feel it in your bones that it’s the right thing to do, do it. Intuition is often as important as the acts.
Jika Anda ingin melakukan sesuatu dan Anda merasa dalam tulang Anda bahwa itu hal yang tepat untuk dikerjakan, kerjakanlah itu. Intuisi sering sama pentingnya dengan tindakan.

Pasar Terapung

SEJARAH PASAR TERAPUNG
diambil dr Facebook

PASAR terapung adalah pasar yang berada di tepi Sungai Barito, tepatnya berada di dua kelurahaan yakni Kelurahan Kuin Utara meliputi Muara Kuin dan Sungai Kuin. Selanjutnya, di kawasan Kelurahan Alalak Selatan, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin. Kini, pasar ini menjadi salah objek wisata yang ditawarkan Pemkot Banjarmasin. Hal ini dikarenakan, karakteristik pasar yang berada di atas sungai dengan para pedagang yang kebanyakan berjualan sembako dan sayur mayur.
Kapan pasar ini telah ada? Menurut penuturan salah seorang keturunan Khatib Dayan–ulama Kerajaan Banjar– bernama Syarif Bistamy SE, keberadaan Pasar Terapung memang tak lepas dengan berdirinya Kerajaan Banjar sekitar tahun 1595.
Namun, Syarif yakin berdasarkan dari catatan sejarah yang dimiliki keluarganya bahwa Pasar Terapung itu berdiri atau sudah ada sebelum berdirinya Kerajaan Banjar. Dimana, menurut Syarif, kawasan Pasar Terapung merupakan bagian dari pelabuhan sungai yang bernama Bandarmasih. Pelabuhan sungai ini meliputi aliran Sungai Barito, dari Sungai Kuin hingga Muara Sungai Kelayan, Banjarmasin Selatan.
Saat itu, pengelolaan pelabuhan sungai ini diserahkan ke Patih Masih dan Patih Kuin. Dua 'penguasa' bersaudara yang dipercaya Syarif dan sebagian masyarakat Kuin merupakan keturunan dari hasil perkawinan (asimilisasi) antara suku Melayu yang berdiam di pesisir (tepi sungai) dan suku Dayak terutama dari subetnis Ngaju. Selanjutnya, pelabuhan Kuin ini diberinama Bandarmasih atau kotanya orang Melayu.
Nah, keberadaan Pasar Terapung turut mengembangkan roda perekonomian sebelum Kerajaan Islam Banjar berdiri. "Dari penuturan orang tua dan catatan yang ada, Pasar Terapung memang merupakan pasar yang tumbuh secara alami. Sebab, posisinya yang berada di pertemuan beberapa anak sungai menjadikan pasar ini menjadi tempat perdagangan," ujar Syarif Bistamy, saat ditemui di kediamannya di Jalan Kuin Utara, Banjarmasin Utara, belum lama ini.
Pria yang mengaku keturunan ke-13 dari Khatib Dayan ini menuturkan kebanyakan para pedagang yang beraktivitas di Pasar Terapung berasal dari Tamban, Anjir, Alalak, Berangas dan sebagian lagi orang Kuin sendiri. "Jadi, pasar ini sudah ada sejak abad ke-14. Pokoknya, sebelum Kerajaan Banjar berdiri," tegasnya.
Menurut Ayip–sapaan akrab pria ini, kalau ditarik garis merah, hubungan antara Pasar Terapung dengan ditemukannya 'Pangeran Terbuang' dari Kerajaan Negara Daha (kini berada di daerah Nagara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan) sangat erat. Sebab, sebelum Sultan Suriansyah diangkat menjadi Raja Banjar, ia dikenal sebagai nelayan atau pencari ikan yang menjual hasil tangkapannya–biasanya daerah 'perburuannya' di kawasan Blandaian (Alalak)– ke Pasar Terapung.
"Ketika itu, namanya asli dari Sultan Suriansyah ini adalah Raden Samudera atau lebih dikenal dengan sebutan Samidri," terangnya.
Saat menjual hasil tangkapan ikan sungainya ini, sang Sultan kecil ini selalu bertemu dengan Patih Masih. Ketika itu, diperkirkan usia Raden Samudera sekira 14 tahun atau masih remaja. Namun, Patih Masih curiga jika Raden Samudera atau Samidri ini bukan orang sembarangan. Dugaannya, remaja ini adalah keturunan raja atau Pangeran yang terbuang akibat 'kudeta' kekuasaan oleh pamannya, Pangeran Tumenggung di Negara Daha. "Karena sering bertemu di Pelabuhan Bandarmasih atau setidaknya Pasar Terapung, Patih Masih yakin bahwa Samidri tersebut merupakan pangeran yang terbuang tersebut," tutur Ayip.
Untuk meyakinkan dugaannya, saat itu Patih Masih langsung mengumpulkan 'penguasa' dari beberapa pelabuhan yang ada yakni Patih Balit dari Alalak, Patih Muhur dari Anjir, dan Patih Kuin (adiknya sendiri) untuk mengundang Samidri ke sebuah pesta makan. Dengan taktik memabukkan Samidri yang ketika itu diberi arak, rahasia yang tersembunyi itu pun berhasil dibongkar dari mulut 'Pangeran Terbuang' ini.
Nah, sejak usia 14 tahun itu, Samidri langsung didaulat dan diangkat menjadi Raja Banjar atau Raja Bandarmasih. Hal ini karena bagi keempat patih tersebut dalam darahnya masih mengalir tutus raja. "Saat itu, Pasar Terapung dan Pelabuhan Bandarmasih sangat maju. Ini jika dibandingkan pelabuhan dagang yang ada seperti di Marabahan (Kabupaten Barito Kuala) atau di Sungai Nagara sendiri, tempat kerajaan kakeknya Sultan," tutur Ayip.
Menurut Ayip, keberadaan Pelabuhan Bandarmasih dan Pasar Terapung juga tak lepas dari berkembangnya Kerajaan Banjar baik secara ekonomi maupun politik. Dimana, di pusat Kerajaan Banjar di kawasan Kuin, banyak pedagang dari Jawa, Gujarat (India) dan Cina yang melakukan aktivitas perdagangan dengan masyarakat Banjar, ketika itu.
Secara politik, kawasan Pasar Terapung juga tak luput menjadi medan pertempuran antara Kerajaan Banjar dengan Kerajaan Negara Daha, yang hanya terpicu dendam keluarga. Setelah Pangeran Tumenggung mengetahui bahwa keponakannya yang dibuang, diangkat menjadi raja dan menguasai Bandar saingan Bandar Kerajaan Nagara.
Perang mulainya berkecamuk secara sporadis, hingga akhirnya terjadi penyerbuan dari Kerajaan Daha. Bahkan, pasukan Kerajaan Banjar sempat menghadang pasukan Negara Daha di kawasan Sungai Alalak. Namun, karena kalah kuat baik dari segi persenjataan maupun personil, akhirnya pasukan Banjar terus terdesak hingga memasuki 'areal terlarang' Kerajaan Banjar di kawasan Kuin. Agar tak terus terdesak, para petinggi Kerajaan Banjar berinisiatif untuk membuat benteng dari ancaman serangan Pasukan Kerajaan Negara Daha. Tepatnya, di kawasan Kuin Cerucuk ditancapkan tiang-tiap kayu ulin sebagai penyangga agar perahu musuh tidak bisa bersandar langsung ke Pelabuhan Bandarmasih, hingga kini nama Kuin Cerucuk diabadikan sebagai nama kampung yang berada di wilayah Banjarmasin Barat. "Waktu itu, perang terjadi di Sungai Alalak dan Sungai Kuin. Namun, ternyata kekuatan Pasukan Nagara Dipa lebih besar dibandingkan Pasukan Banjar hingga terdesak," masih cerita Ayip.
Setelah terus mengalami kekalahan, atas usul Patih Masih yang memiliki hubungan dagang dan politik dengan para pedagang dari Jawa, terutama dari Kerajaan Mataram Islam, dijalin hubungan kemiliteran. Namun, sebetulnya, versi Ayip ini berbeda dengan versi yang kebanyakan ditulis dalam Sejarah Kerajaan Banjar, dimana Kerajaan Demak yang telah membantu Sultan Suriansyah dalam mengusir pasukan Kerajaan Daha. "Waktu itu Kerajaan Demak mulai runtuh, dan digantikan Kerajaan Mataram Islam. Walaupun sebetulnya kendali pemerintahan masih dibawah Kerajaan Cirebon," tutur Ayip yang yakin versi ceritanya ia dapatkan dari penuturan pendahulunya.
Bantuan dari Kerajaan Mataram Islam pun datang. Namun, bantuan tidak 'gratis', sebab ada beberapa syarat yang harus dipenuhi Kerajaan Banjar, jika perang saudara ini dimenangkan Sultan Suriansyah, maka Kerajaan Banjar harus bersedia menjadi fusi atau bagian dari Kerajaan Mataram Islam serta agama Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan.
Persyaratan itu disetujui, hingga dikirim sekitar 1.000 pasukan dari Kerajaan Mataram Islam dibawah pimpinan Fatahillah atau bernama Syarif Hidayatullah, hingga dikenal sebagai Khatib Dayan, meskipun nama sebenarnya adalah Khatib Dayat (berasal dari Hidayatullah), karena lidan Urang Banjar agak kedal, hingga dinamakan Khatib Dayan saja. "Namun, Fatahillah ini bukan Fatahillah yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Sebab, saat itu ada dua nama Fatahillah yang merupakan panglima perang sekaligus ulama," ujar Ayip.
Atas bantuan Kerajaan Mataram ini, pasukan Kerajaan Banjar berhasil 'mengusir' pasukan Kerajaan Negara Daha bahkan sempat menyerang ke wilayah kerajaan tersebut. Namun, korban tetap berjatuhan dari kedua belah pihak.
Untuk itu disepakati jalan arbitasi atau damai. Usulan perang tanding atau adu ilmu antara Sultan Suriansyah dengan Pangeran Tumenggung dipilih sebagai upaya penuntasan perang saudara berkepanjangan. Tawaran ini diakuri kedua belah pihak, hingga terjadi adu 'kedigjayaan' di atas dua perahu. Untuk Sultan Suriansyah, saat itu dikayuh oleh Patih Masih, sementara Pangeran Tumenggung di atas perahu yang dikayuh oleh Arya Trenggara–merupakan paman Sultan Suriansyah sendiri sebelum ia dibuang ke Muara Banjar.
"Rupanya adu kesaktian tak terjadi. Saat itu, Pangeran Tumenggung justru menangis ketika mendengar cerita pahit yang dialami keponakannya tersebut. Makanya, ketika itu langsung disepakati perang berakhir dan damai," kata Ayip. Sejak saat itu, dua kerajaan yakni Kerajaan Banjar dan Kerajaan Nagara Daha digabungkan dalam satu 'komando' Sultan Suriansyah. "Sejak itu pula, Pasar Terapung berkembang secara alami. Karena, sebagian pedagang juga berasal dari Nagara," pungkas Ayip.
Hingga kini, situs sejarah berupa Pasar Terapung, dan makam para Raja Banjar ini tetap terpelihara di kawasan Makam Sultan Suriansyah, Kuin Utara, sekitar 4 kilometer dari pusat kota Banjarmasin. *** tulisan dari for kota(disarikan dari wawancara dalam bentuk hardnews, didi g sanusi


aku juga hunting ke Pasar Terapung bersama teman-teman anak komunikasi 2008 FISIP UNLAM BANJARMASIN















SUKU DAYAK



1.     Tentang Kebudayaan Dayak dan Sosial Budayanya



a.      Suku Dayak
     Yang dimaksud dengan Dayak adalah Sungai. Kata Dayak yang artinya sungai tersebut terdapat pada salah satu anak suku Benua di Kalimantan Timur serta bahasa suku (lokal) di Kalimantan barat dan Serawak.
     Pada saat itu sungai merupakan satu-satunya prasarana perhubungan dari satu kampung ke kampung lainnya. Disetiap aliran sungai tersebut dapat dilewati dengan menggunakan perahu. Oleh karena itu bahwa suku bangsa yang mendiami pulau Borneo (Kalimantan) diberikannya nama Suku bangsa Dayak yang artinya suku bangsa yang bermukim di sepanjang tepi sungai.
     Dalam mengkonstruksi identitas kultural masyarakat Dayak selama masa pemerintahan Orde Baru (1965-1998), dapat dibandingkan bagaimana ketika orang Dayak direpresentasikan oleh pejabat-pejabat Belanda di masa kolonial. Perbandingan tersebut cukup menarik mengingat konseptualisasi pemerintah Orde Baru tentang suku Dayak sebagai suku terasing memiliki banyak prasangka yang sama dengan sikap para pejabat Belanda di masa kolonial. Citra “primitif”, “liar” dan “eksotik” Dayak inilah yang dipromosikan baik dalam bentuk brosur dan kartu pos oleh pemerintah, dalam hal ini Dinas Pariwisata. Kemudian himbauan yang disebarluaskan pemerintah agar orang-orang Dayak mentato tubuh mereka adalah hal yang merendahkan, karena menurutnya pendidikanlah yang lebih dibutuhkan.
     Citra negatif tentang kebudayaan Dayak oleh masyarakat sangat melekat, seperti orang dayak yang memiliki ekor, makan orang, dan kebiasaan orang Dayak yang memanjangkan daun telinga.
     Sebenarnya citra negatif/citra primitif oleh pandangan masyarakat merupakan kesalahpahaman dalam memaknai pengertian dari masyarakat Dayak tersebut. Citra negatif bahwa orang Dayak memiliki ekor terbantahkan. Hal itu dijelaskan oleh salah seorang nara sumber bahwa sebenarnya ekor tersebut adalah bagian dari cawat kulit kayu yang digunakan oleh kaum laki-laki Dayak. Sementara itu anggapan bahwa orang Dayak makan orang (manusia), menurut nara sumber lain karena kesalahpahaman terhadap kata “orang”. Kata “orang” yang dalam bahasa Indonesia berarti manusia yang adalah juga sebuah kata dalam bahasa Dayak berarti sejenis siput air yang memang sering dimakan oleh orang Dayak.  Sama halnya dengan memanjangkan daun telinga. Ada orang yang tetap mempertahankan cuping daun telinga mereka tetap panjang dan ada juga yang memotong agar tampak modern dan tidak dikatakan primitif.

b.      Sosial Budaya Dayak
     Penduduk asli Kalimantan  adalah suku Dayak, suku ini merupakan masyarakat terbesar yang mendiami hampir ditiap Propinsi Kalimantan bersama dengan berbagai suku lain di Indonesia.
     Suku Dayak terbagi atas beberapa sub etnis yang masing-masing  memiliki satu kesatuan bahasa, adat istiadat dan budaya. Masyarakat Dayak mempunyai sifat keterbukaan dan toleransi yang tinggi yang tercermin dalam falsafah Huma Betang. Huma Betang adalah rumah khas Dayak, berupa rumah besar, dimana dalam satu rumah besar adat (Huma Betang) Dayak tersebut tinggal bersama-sama beberapa keluarga dengan segala perbedaannya seperti status sosial, ekonomi maupun agama namun tetap hidup secara harmonis.
     Sifat gotong royong dalam masyarakat suku Dayak masih tetap terpelihara terutama dalam gerak hidup bermasyarakat yang tercermin dari tradisi kerja.

2.     Agama yang dianut dalam Suku Dayak

     Kalimantan Tengah mempunyai problem etnisitas yang sangat berbeda di banding Kalimantan Barat. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah adalah ethnis Dayak yang terbesar. Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya Dayak, demikian juga bagi Dayak yang masuk agama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan ke cabang agama Hindu. Kaharingan atau agama helu dan keyakinan tersebut  memegang peranan penting dalam adat istiadat dan budaya suku Dayak. Oleh karena itu, mengenal Kaharingan akan memperkuat pemahaman tentang suku Dayak. Kaharingan, asal kata Haring, yang artinya hidup. Kaharingan tidak dimulai sejak zaman tertentu. Kaharingan telah ada sejak awal penciptaan, sejak awal Ranying Hatalla menciptakan manusia. Sejak adanya kehidupan, Ranying Hatalla telah mengatur segala sesuatunya untuk menuju jalan kehidupan kearah kesempurnaan yang kekal dan abadi.
     Ketika nenek moyang manusia diturunkan ke Pantai Danum Kalunen, atau Lewu Injam Tingang atau alam tempat kehidupan manusia, terlebih dahulu mereka telah dibekali sendiri oleh Ranying Hatalla dengan segala aturan, tatacara, bahkan pengalaman langsung untuk menuju ke kehidupan sempurna yang abadi. Itulah sebabnya ketika Raja Buno dan keturunannya diturunkan dari langit ke bumi menggunakan Palangka Bulau, mereka telah sangat mengerti dan paham bahwa mereka berada di Pantai Danum Kalunen hanya untuk sementara. Kelak apabila waktunya telah tiba, mereka akan kembali ke Lewu Liau atau Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Isen Kamalasu Uhat. Mereka buli atau pulang ketempat asalnya untuk bersatu kembali dengan penciptanya, dengan sarana upacara Tiwah. Setelah menetap di Pantai Danum Kalunen, pengetahuan tersebut diajarkan dan diwariskan kepada anak turunannya secara terus menerus dalam bentuk Tetek Tatum. Bahkan ketika mereka, nenek moyang manusia masih berada bersama Ranying Hatalla, contoh bagaimana harus melaksanakan Upacara Tiwah pun telah dilaksanakan sedemikian detail. Ranying Hatalla telah mengatur dan menjadikan segalanya sesuai dengan kehendaknya.
     Dalam Kaharingan, diyakini bahwa tiap orang dalam kehidupannya mempunyai tugas dan misi tertentu. Misi utama Kaharingan ialah mengajak manusia menuju jalan yang benar dengan berbakti mengagungkan Ranying Hatalla dalam setiap sikap dan perbuatan.  Ajaran tersebut termuat dalam kalimat : “Balang Bitim jadi isi sampuli balitam jadi daha, dia baling bitim tau indu luang rawei”. Artinya “Kamu bukan dijadikan menjadi darah dan daging, tetapi selebihnya hendaklah engkau mempunyai suatu misi”. Maksudnya badan jasmani yang terdiri dari darah dan daging mampu menjadikan manusia mahluk yang sempurna dalam arti harati, bakena mamut menteng, dan bijaksana. Namun keadaan demikian bukan demi kepentingan pribadi. Semua kesempurnaan itu dimaksudkan sebagai sarana untuk mencapai misi atau tujuan hidup yang telah ditentukan oleh Ranying Hatalla. Tanggung jawab manusia melaksanakan misi kehidupannya dengan sempurna, merupakan syarat mutlak yang harus dilaksanakan. Untuk mencapai hal tersebut, lahir dan bathin harus selalu bersih. Disini, dalam ajaran Kaharingan, faktor penyucian diri, yang dilambangkan dengan hasaki/hapalas pegang peranan penting dalam kehidupan. Manusia harus selalu, bersih. Dengan hasaki, hapalas sebagai lambang penyucian diri, manusia terbebas dari pengaruh-pengaruh jahat, baik lahir maupun bathin. Dalam keadaan bersih lahir bathin, manusia, menjadi lebih peka dan mampu menerima Karunia dan Anugerah Ranying Hatalla. Karunia tersebut berupa petunjuk yang akan diberikan oleh Ranying Hatalla, dengan perantara Roh Baik yang kehadirannya tidak terlihat mata jasmani.
     Bimbingan dan pengarahan juga diberikan kepada keturunannya agar bertanggung jawab dengan penuh kesadaran dan keihklasan untuk melaksanakan upacara Tiwah bagi kedua orang tuanya, bila saatnya telah tiba. Adanya keterikatan untuk saling bertanggung jawab dan saling menghargai satu sama lain, berfungsi sebagai pengendali kontrol diri bagi manusia. Karena tidak mungkin seorang yang telah meninggal dunia, mampu melaksanakan upacara Tiwah bagi dirinya sendiri.
     Dosa berat dalam kehidupan manusia ialah :
a.       Merampas
b.      Mengambil isteri orang
c.       Mencuri
d.      Merampok
e.       Ketidak adilan dalam memutuskan perkara bagi mereka yang berwewenang memutuskannya, yaitu para Kepala Kampung, Kepala Suku dan Kepala Adat
f.       Tindakan tidak adil atau menerima suap atau uang “Sorok” bagi mereka yang bertugas mengadili perkara di Pantai Danum Kalunen (dunia)
     Neraka tidak dikenal, namun apabila melakukan pelanggaran atau tidak taat akan suatu aturan yang telah ditetapkan oleh Ranying Hatalla, malapetaka akan langsung dialami. Namun dapat pula malapetaka yang datang tidak seketika, perlahan tapi pasti. Ketika malapetaka itu datang, mereka rela dan iklas menerimanya. Secara bathin, mereka sendiri mampu merasakan dan membedakan, mana nasib tidak beruntung atau malapetaka yang dialami, merupakan hukuman dosa, atau merupakan cobaan yang berasal dari Nyalung Kaharingan Belum. Karena memang tidak semua kesialan atau malapetaka yang dialami manusia, berasal dari hukuman dosa yang telah dilakukan. Nyalung Kaharingan Belum atau air kehidupan, juga berperan membentuk manusia untuk menjadi semakin kuat, kokoh dan tegar.
     Hukum Pali berarti larangan yang harus ditaati. Namun apabila larangan tersebut telah terlanjur tidak ditaati, maka pelanggaran tersebut harus dinetralisir. Apabila dibiarkan begitu saja maka keharmonisan alam akan terganggu, dampaknya dapat mencelakakan banyak orang bahkan seisi kampung akan terkena getahnya. Sebagai contoh, apabila terjadi perkawinan sala’ hurui atau salah silsilah, misalnya, seorang anak menikah dengan adik kandung ayahnya, maka keduanya akan mendapatkan hukuman. Perbuatan salah telah mereka lakukan, oleh karena itu dengan penuh kesadaran, tanpa paksaan, keduanya wajib melaksanakan upacara Pakanan Tambun Tulah. Pada saat upacara berlangsung, kisah singkat awal adanya pali diuraikan.
     Maksudnya agar siapapun yang hadir dalam upacara tersebut, ingat kembali bahwa tidak mematuhi aturan yang telah ditentukan oleh Ranying Hatalla, ada resikonya. Dalam upacara, kedua mahluk yang tidak mentaati aturan, harus makan pada tempat bekas babi makan.[21] Bukan hanya pada piring atau tempat makan babi, namun cara mereka makan, harus juga berkaki empat seperti babi. Itu berarti mereka harus makan sambil merangkak di tanah. Saat itu keduanya jadi bahan tontonan, karena disaksikan oleh banyak orang. Rasa malu terpaksa ditanggung, demi menetralisir kesalahan yang terlanjur telah dilakukan. Mau tidak mau, suka tidak suka cara tersebut harus dilaksanakan, karena dengan melaksanakan Upacara Pakanan Tambun Tulah, maka dosa mereka diampuni.
     Demikian pula anak keturunannya, terbebas dan tidak lagi disebut Tulah Sahu. Akan tetapi perlu diingat bahwa, sekalipun dampak atau akibat Tulah Sahu dapat dinetralisir dengan sarana upacara, namun nama buruk yang telah terjadi akibat perbuatan buruk, akan ditanggung seumur hidup. Oleh karena itu, perlu kendali diri, apabila tidak ingin mendapatkan malu yang bertubi-tubi. Oleh karena itu Kaharingan meyakini adanya makhluk yang tidak terlihat mata jasmani, namun berada disegala tempat. Baik di bumi maupun di langit. Mereka adalah anak cucu turunan Raja Sangen dan Raja Sangiang. Mahluk-mahluk yang tidak terlihat oleh mata jasmani dan bertempat tinggal di langit dapat turun ke bumi untuk menemui manusia, memberikan pertolongan atau melaksanakan tugas lainnya. Mahluk-mahluk tersebut adalah juga ciptaan Ranying Hatalla. Masing-masing mereka mempunyai tugas khusus dalam pengendalian alam dan kesejahteraan manusia.
     Perlu kewaspadaan apabila ingin berkomunikasi dengan mahluk-mahluk tersebut. Tidak semua dari mereka adalah roh baik, sebagian ada juga roh jahat. Mereka tak pernah henti, menggoda manusia, untuk tidak lagi taat, kepada Ranying Hatalla. Dalam ritual upacara adat biasanya untuk mahluk-mahluk tersebut, disediakan sajen. Doa khusus juga diucapkan bagi mereka. Sajen disediakan sebagai ucapan syukur dan terima kasih kepada roh baik, karena telah mengupayakan kebaikan bagi manusia. Untuk Roh Jahat, sajen diberikan agar mereka, roh jahat tidak menyesatkan dan mengganggu jalannya upacara.
     Disini pengendalian diri amat sangat dibutuhkan. Ranying Hatalla mengizinkan manusia untuk berkomunikasi dengan roh atau mahluk halus yang tidak terlihat oleh mata jasmani. Kepada mereka manusia diizinkan meminta tolong serta mohon petunjuk. Namun satu hal perlu diingat, manusia harus selalu dalam keadaan waspada. Hindari keserakahan, kendali diri sangat dibutuhkan. Apabila tidak berhati-hati, dan tidak memahami benar, mungkin saja kesalahan yang terjadi. Bukan Roh baik yang dituju namun Roh jahat yang dapat menipu, menyesatkan serta mencelakakan manusia.
     Kaharingan, sangat menghormati dan memuliakan Ranying Hatalla. Perkara kecil/ sepele urusan keduniawian, tidak perlu lagi melibatkan Ranying Hatalla. Ranying Hatalla telah memberi wewenang kepada para pembantunya untuk melaksanakannya. Pembagian tugas telah diatur sedemikian cermat. Manusia, apabila ingin berkomunikasi dengan Ranying Hatalla, melalui Balian atau Basir. Sekalipun demikian, Balian ataupun Basir tidak secara langsung berkomunikasi dengan Ranying Hatalla, namun meliwati para pembantu Ranying. Para Pembantu Ranying ialah Roh Baik yang telah diberikan tugas dan tanggung jawab tertentu oleh Ranying. Balian adalah seorang perempuan yang bertugas sebagai mediator dan komunikator antara manusia dengan mahluk lainya yang keberadaannya tidak terlihat oleh mata jasmani manusia. Untuk laki-laki disebut Basir. Tidak setiap orang sekalipun berusaha keras, mampu melakukan tugas dan kewajiban sebagai Balian. Biasanya hanya orang-orang terpilih saja. Adapun tanda-tanda yang mungkin dapat dijadikan pedoman kemungkinannya seorang anak kelak dikemudian hari bila telah dewasa menjadi seorang Balian, antara lain apabila seorang anak perempuan lahir bungkus yaitu pada saat dilahirkan placenta anak tidak pecah karena proses kelahiran, namun lahir utuh terbungkus placentanya, juga sikap dan tingkah laku anak sejak kecil berbeda dengan anak-anak pada umumnya, iapun banyak mengalami peristiwa-peristiwa tidak masuk akal bagi lingkungannya.
     Adapun segelintir masyarakat Dayak yang telah masuk agama Islam oleh karena perkawinan lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. (Dan sesuai perkembangannya maka masuklah para misionaris dan misi kristiani/nasrani ke pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang pindah agama Islam di Kalimantan Barat dianggap oleh suku dayak sama dengan suku melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam(karena Perkawinan dengan suku Melayu) memperlihatkan diri sebagai suku melayu.banyak yang lupa akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama barunya dan aturan keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang pindah(lewat perkawinan dengan suku melayu) ke Agama Islam,agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak.sejalan terjadinya urbanisasi ke kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun nusantara lainnya.
     Masyarakat Dayak asli masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya, mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana ( Dayak mualang) adalah penguasa tanah , Raja Juata (penguasa Air), Kama”Baba (penguasa Darat),Jobata,Apet Kuyan'gh(Dayak Mali) dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamisme nya dan budaya aslinya nya, mereka memisahkan diri masuk semakin jauh kepedalaman.
     Dalam menapaki jalannya kehidupan, orang Dayak mengenal tiga relasi yang benar-benar harus dijaga keharmonisannya, yaitu :
a.       Hubungan manusia dengan Ranying Hatalla.
Penyang Ije Kasimpei, Penyang Ranying Hatalla Langit, artinya beriman kepada Yang Tunggal yaitu Ranying Hatalla Langit. Bagaimana hubungan manusia dengan Ranying Hatalla, terungkap jelas pada Penjelasan singkat tentang agama Hindu Kaharingan di atas.
b.      Hubungan manusia dengan manusia lainnya baik secara kelompok, maupun individu.
-          Hatamuei Lingu Nalata
Artinya saling kenal mengenal, tukar pengalaman dan pikiran, serta saling tolong menolong
-          Hatindih Kambang Nyahun Tarung, Mantang Lawang Langit
Artinya berlomba-lomba jadi manusia baik agar diberkati oleh Tuhan di langit, dan bisa memandang dan menghayati kebesaran Tuhan. Menjalin relasi dengan sesama baik secara kelompok maupun perorangan, demi terciptanya keharmonisan hidup, menjadi prioritas utama bagi suku Dayak. Hal ini disebabkan karena ketidak dalam konsep kepercayaan suku Dayak, manusia juga mahluk lainnya telah ditentukan dan ditugaskan dalam kedudukan masing-masing untuk memenuhi fungsinya guna memelihara tata ketertiban alam agar segalanya berjalan semestinya dalam keadaan serasi dan seimbang. Tata – keserasian dan tata keseimbangan kosmos inilah yang dikalangan suku Dayak dinamakan adat. Manusia dikatakan baik atau sempurna apabila ia mampu menjalankan seluruh hukum adat dan mentaati hukum pali. Dengan demikian adat bagi orang Dayak bukan saja peraturan atau kebiasaan yang mengatur hubungan antar sesamamanusia tetapi mempunyai pengertian yang lebih luas. Hukum Adat mencangkup seluruh kejadian, seluruh mahluk serta seluruh alam semesta. Kenyataan bahwa secara umum, baik laki-laki maupun perempuan Dayak memiliki jiwa ksatria , pemberani, dan pantang menyerah, yang terungkap dalam semboyan hidup mereka Isen Mulang yang berarti pantang menyerah. Sikap demikian khususnya dimasa yang telah lalu memang mau tidak mau harus mereka miliki karena tuntutan keganasan alam.

3.     Mata Pencaharian Suku Dayak

     Aktivitas mata pencaharian utama dari suku Dayak tersebut adalah bertani, atau biasa disebut Bahuma atau berladang bagi masyarakat Dayak di Kalimantan yang tidak semata-mata merupakan aktivitas ekonomi  atau sebagai matapancaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga aktivitas religius untuk berhubungan dengan Sang Maha Pemberi Rizqi. Ada juga yang menyebutkan bahwa aktivitas bertani yang dijalankan oleh masyarakat Dayak merupakan bagian dari religi huma (sawah). Puncak dari tradisi ritual bahuma adalah Aruh Ganal (kenduri besar), yaitu pesta yang diadakan setelah panen raya sebagai ungkapan syukur atas rizqi yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta. Selain itu, Aruh Ganal juga sebagai permohonan agar hasil pada musim tanam berikutnya semakin melimpah dan dijauhkan dari hama perusak tanaman.
     Disebut Aruh Ganal karena upacara ini dirayakan secara besar-besaran selama lima, tujuh, dan atau 12 hari oleh seluruh warga kampung, dengan mengundang warga dari kampung-kampung lainnya. Bahkan, terkadang juga mengundang aparat pemerintahan. Kemeriahan Aruh Ganal, sepenuhnya tergantung kepada banyak-sedikitnya hasil bahuma masyarakat. Apabila hasil panen banyak dan bagus maka akan diadakanlah upacara Aruh Ganal secara meriah, sebaliknya jika panen kurang berhasil maka cukup diadakan Aruh Kecil atau bahkan tidak diadakan sama sekali.
     Aruh Ganal disebut juga bawanang banih halin atau upacara mahanyari banih barat, yaitu upacara yang dilaksanakan karena mendapat hasil panen padi yang banyak dan selama bahuma tidak mendapat musibah. Padi yang diikutkan dalam upacara ini adalah padi yang terakhir kali dipanen atau disebut juga hasil panen yang kedua. Beras dari hasil panen tersebut belum boleh dimakan sebelum diupacarai. Dengan kata lain, masyarakat Dayak baru akan menikmati hasil dari bahuma setelah mereka mengucapkan syukur kepada Sang Maha Pemberi Rizqi.
     Oleh karena Aruh Ganal merupakan upacara sakral dan bernuansa magis, maka pelaksanaan upacara Aruh Ganal dipimpin oleh Balian. Balian adalah tokoh (pimpinan) adat yang mempunyai pengetahuan luas mengenai seluk beluk adat dan tradisi masyarakat Dayak. Pengetahuan ini diperoleh dengan cara berguru kepada Balian Tuha (Dukun Tua) dan melakukan Balampah (semacam semedi untuk membangun persahabatan dengan berbagai jenis roh halus sehingga memperoleh kesaktian tertentu).
     Balian yang terlibat dalam upacara Aruh Ganal terdiri dari beberapa orang dan dipimpin oleh Pangulu Adat (Penghulu Adat). Dalam menjalankan tugasnya, setiap Balian selalu didampingi oleh Panjulang. Panjulang adalah wanita yang selalu memperhatikan pembicaraan Balian, dan pada saat bersamaan dapat mengajukan permohonan atas kehendak masyarakat. Segala permintaan Balian dilayani oleh Panjulang.

4.     Perkawinan dalam Adat Dayak

     Dalam budaya Dayak, ada beberapa aturan dalam perkawinan yang perlu diperhatikan dalam adat Dayak tersebut, yaitu :

a.       Hubungan keluarga mempelai. Kedua mempelai akan diberi sanksi apabila ada ikatan darah antara sampai keturunan ke-4. Boleh saja menikah asalkan membayar adat terlebih dahulu.
b.      Antar hubungan saudara sekandung (Adik-kakak/ abang)= Adat Pelangkah. Apabila adik terlebih dahulu menikah maka adik tersebut harus membayar adat kepada kakak/ abang.
c.       Hubungan antar suku (Tionghoa dan Melayu). Suku Dayak Mali telah membuat perjanjian dengan suku Melayu dan Tionghoa dari jaman nenek moyang. Apabila orang Dayak menikah dengan orang Melayu dan masuk Melayu (Islam) maka pihak Melayu harus membayar adat sebagai sanksi. Adatnya cukup besar dalam adat Dayak Mali. Demikian pula sebaliknya dan dengan suku Tionghoa juga terjadi hal yang sama. Tetapi dengan suku lain selain kedua suku tersebut tidak ada sanksi/ hukum adat yang berlaku. Suku yang lainnya bebas dari hukum bila menikah dengan suku Dayak mali. Tetapi bukan berarti bebas dari hukum yang lain yang berlaku bagi seluruhnya.
d.      Penetapan hukum Adat pada saat mulai Pelaksanaan Perkawinan. Pada saat persiapan pernikahan akan ada perjanjian antara kedua mempelai tersebut. Dan jika dilanggar maka sangsinya akan lebih berat dari biaya pernikahan.
     Selain itu juga aturan-aturan suku Dayak yang perlu diperhatikan, karena aturan-aturan perkawinan dalam suku Dayak berbeda-beda. Di kalangan suku Lepo tau ( subsuku Kenyah ) perkawinan dalam satu golongan (class endogamy) lebih disukai, khususnya untuk perkawinan pertama. Diantara sesama bangsawan, perkawinan dengan saudara sepupu diperbolehkan meskipun tidak dianjurkan dan dapat dikenai denda. Perkawinan semacam ini tidak diperbolehkan bagi rakyat biasa sedangkan perkawinan  dengan sepupu-sepupu selain saudara sepupu utama diizinkan bagi semua kelas. Bila anak-anak suku Dayak pernah tinggal di lamin yang sama, dengan mengabaikan ada atau tidaknya pertalian darah mereka dianggap sebagai saudara kandung dan mereka tidak boleh kawin. Dalam suku Dayak Iban perkawinan yang paling disukai adalah perkawinan dalam satu keturunan, tetapi perkawinan diantara individu-individu yang tidak bertalian kerabat sama sekali asalkan yang bersangkutan tidak memiliki noda keturunan orang jahat dan bukan keturunan budak dapat diterima. Sedangkan dalam suku Dayak Ngaju yang paling disukai adalah perkawinan dengan seorang kerabat dekat khususnya antara sepupu-sepupu sejajar mulai tingkat pertama hingga ketiga.
     Dalam suku Dayak Iban mas kawin tidaklah penting sedangkan dalam suku Dayak Maanyan upacara perkawinan disertai dengan pembayaran harga pengantin yang terdiri atas uang, beberapa buah gong dan barang-barang pusaka lainnya. Mengenai tempat tinggal setelah perkawinan di kalangan Dayak Kenyah tempat tinggal bersifat ambilokal, bisa di keluarga si istri bisa juga di keluarga suami. Sebelum perkawinan dilangsungkan,orang tua akan menentukan rumah tinggal bagi pasangan baru yang bersangkutan dan mereka boleh memilih apakah akan tinggal di rumah pihak suami  (patrilokal). Sedangkan di kalangan Dayak Maanyan, setelah menikah pasangan baru tinggal di tempat yang baru (uxorilokal) selama lima tahun, tetapi pada akhirnya tempat tinggal setelah menikah bersifat ambilokal.

5.     Cara Pelaksanaan/Upacara Kelahiran dalam Suku Dayak

     Kelahiran seorang anak merupakan satu kebahagian bagi setiap keluarga. Sebagai ucapan syukur, kerap diadakan pesta- pesta sebagai ucapan syukur oleh anggota keluarga. Bagi suku dayak, saat bayi yang baru lahir pertama kali wajib dibawa ke Lamin Adat sebagai pemberitahuan kepada leluhur, untuk mendapatkan perlindungan dari segala mara bahaya.
     Pelaksanaan upacara tergantung kemampuan anggaran keluarga. Untuk upacara besar disebut Dangai Anak, sedangkan upacara yang lebih sederhana disebut Napoq Uma'a. Kedua upacara ini hampir sama yang berbeda hanyalah terletak pada anggaran atau kelengkapan yang diadakan dalam upacara kelahiran anak dalam suku Dayak.
     Dalam upacara Dangai Anak dan Napoq Uma’a pertama-tama adalah mempersiapkan bahan-bahan untuk upacara, seperti piring putih yang diisi beras, gelang manik (lekuuq) dan dua butir telur. Semuanya  di tempatkan dalam piring putih. Sambil menunggu kedatangan Dayung (pemangku adat) keluarga yang melahirkan memiliki kewenangan melaksanakan Napoq Uma’a, namun kalau pelaksanaan Dangai Anak harus menunggu kedatangan pemangku adat baru boleh dilaksanakan.
     Pemangku adat melempar butir-butir beras ke kanan dan ke kiri di hadapan bayi yang baru dilahirkan sambil membaca doa untuk si bayi. Beras merupakan simbol permohonan kepada para leluhur penjaga kampung untuk menjaga dan melindungi anak yang baru lahir dari gangguan roh jahat yang bisa mengganggu perkembangan atau kesehatan bayi tersebut.
     Setelah itu, Dayung atau pemangku adat menghampiri tiang utama dalam rumah dan meletakkan dua butir telur ke dalam batang bambu yang diikat di tiang utama. Setelah itu mulut pemangku adat kembali berkomat kamit, menginformasikan kepada para leluhur bahwa telah lahir seorang anak.

6.     Hukum dan Upacara Kematian dalam Suku Dayak

     Dengan adanya hukum-hukum upacara kematian, terutama setelah kematian yang meninggalkan sisa adanya mayat seperti sekarang, maka penyelenggaraan upacara kematian harus selalu dilaksanakan sesuai dengan keberadaan dan tingkat perekonomian masyarakat pendukungnya.
     Dalam perkembangan selanjutnya penyempurnaan ini melahirkan berbagai bentuk upacara kematian seperti yang dilakukan sekarang ini. Untuk daerah hukum adat suku Dayak terdapat bentuk-bentuk upacara kematian, sebagai berikut :
a.    Ejambe, yaitu upacara kematian yang pada intinya pembakaran tulang si mati. Pelaksanaan upacaranya sepuluh hari sepuluh malam. Upacara ini tidak pernah lagi dilakukan atau hanya sebagian kecil dari suku-suku Dayak yang lain.
b.    Ngadatun, yaitu upacara kematian yang dikhususkan bagi mereka yang meninggal dan terbunuh (tidak wajar) dalam peperangan atau bagi para pemimpin rakyat yang terkemuka. Pelaksanaannya tujuh hari tujuh malam.
c.    Mia, yaitu upacara membatur yang pelaksanaannya selama lima hari lima malam.
d.   Ngatang, yaitu upacara mambatur yang setingkat di bawah upacara Mia, karena pelaksanaannya hanya satu hari satu malam. Dan kuburan si mati pun hanya dibuat batur satu tingkat saja.
e.    Siwah, yaitu kelanjutan dari upacara Mia yang dilaksanakan setelah empat puluh hari sesudah upacara Mia. Pelaksanaan upacara Siwah ini hanya satu hari satu malam. Inti dari upacara Siwah adalah pengukuhan kembali roh si mati setelah dipanggil dalam upacara Mia untuk menjadi pangantu keworaan (sahabat pelindung sanak keluarga).
     Isi dari berbagai upacara kematian biasanya berupa pergelaran berbagai kesenian atau tari-tarian tradisional Dayak Maanyan seperti Gintur, Giring-Giring, Dasas, Ebu Lele, dan sebagainya, jadi upacara kematian merupakan kesenangan belaka karena para pengunjung bebas untuk memperlihatkan kebolehannya.
      Ada juga Tradisi penguburan dan upacara adat kematian suku Dayak lain, karena  upacara adat suku Dayak tersebut sangat beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya tedapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
a.    Penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
b.    Penguburan di dalam peti batu (dolmen) yang ditempatkan di dalam bangunan kecil dengan posisi kea rah matahari terbit.
c.    Penguburan dengan wadah kayu, anyaman bamboo, atau anyaman tikar. Ini merupakan system penguburan yang terakhir berkembang.
Dalam masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yaitu :
a.       Di kubur dalam tanah
b.      Diletakkan di pohon besar
c.       Dikremasi dalam upacara tiwah
Adapun upacara tiwah adalah prosesi penguburan pada penganut Kaharingan untuk mengantarkan tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat, sebagai symbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun  atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah. Senandung adalah tempat semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Upacara tiwah bagi suku Dayak sangantlah sacral, pada acara tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempat (sanding), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirmya tulang-tulang tersebut diletakkan di tempatnya (sandung).

7.     Sistem Pemerintahan dan Hukum Adat dalam Suku Dayak

     Sistem pemerintahan dalam suku Dayak juga ada yang menjadi penghulu desa atau sebagai pemimpin administrstif pemerintahan suku Dayak tersebut. Pemimpin administratif tersebut juga sebagai kepala adat suku Dayak. Yang memiliki kemampuan menulis dan membaca huruf latin serta memiliki rumah dan berpengaruh di desa Dayak tersebut. Kedudukan kepala adat di suku Dayak sangat penting, khususnya dalam menyelesaikan masalah sengketa.
     Hukum Adat adalah sanksi atau denda berupa barang-barang sebagai bukti adat itu sendiri. Sekalipun adatnya sederhana tetap akan menjadi bukti-bukti adat yang sah. Bagi orang Dayak, adat merupakan hukuman yang sangat memalukan. Karena itu setiap orang Dayak harus tahu diri bahwa setiap orang yang bersalah sebenarnya ketika di adat maka sama harga dirinya telah hilang baginya sama dengan ditolak dalam masyarakat Dayak.
     Di dalam suku Dayak ada juga yang dikenal dengan ahli adat yaitu orang yang ditunjuk untuk memutuskan perkara-perkara hukum adat dan menjadi wakil desanya pada upacara-upacara yang diadakan di desa tetangga. Ahli adat tidak ditunjuk sembarangan, karena ahli adat yang ditunjuk atau dipilih adalah orang Dayak yang mengetahui dan betul-betul mengenal hukum adat Dayak.
     Hukum adat masyarakat Dayak dikenal sebagai perdamaian, yang merupakan tempat musyawarah kepala adat dan demang-demang. Musyawarah ini menyeragamkan garis-garis besar hukum adat agar dijadikan pedoman bagi seluruh masyarakat Dayak di Kalimantan.
     Hukum adat Dayak adalah hukum setempat yang tidak tertulis dengan sanksi berupa denda, sanksi bagi pelanggar hukum adat berupa cara adat dengan maksud memulihkan keseimbangan alam dengan jalan mengambil hati para dewa agar tidak marah.
     Dalam mengambil keputusan, sidang hukum adat istiadat harus memperhatikan dua dasar jiwa hukum adat, yaitu :
a.       Menanyakan apakah perkara tersebut pernah terjadi sebelumnya
b.      Berusaha agar hukuman yang dijatuhkan itu berdasarkan keadilan
     Oleh karena itu hukum adat Dayak bersifat luwes dan bisa berubah.
     Di sini juga dijelaskan tentang struktur pemerintahan suku Dayak, dimana kepala suku dipilih secara turun temurun (primogenitur). Seorang kepala suku bisa memegang jabatannya hingga meninggal. Jika ia mengundurkan diri karena masalah fisik, maka putra tertuanya akan menggantikannya. Apabila putra tertua itu tidak diterima oleh penduduk, maka adik laki-lakinya dapat mengambil alih jabatannya. Bila tidak ada putra yang memenuhi syarat, para tetua adat harus menyetujui satu orang kandidat lain dari sebuah keluarga bangsawan. Jarang terjadi friksi karena tidak ada persaingan dalam memilih kepala suku.
     Kepala suku bertanggung jawab atas kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Mempunyai kekuasaan atas ketua-ketua rumah panjang. Mewakili rakyatnya dalam segala hal yang berurusan dengan pemerintah atau dalam urusan antar desa. Kepala suku juga memimpin dalam peperangan, mengawasi benda-benda keramat serta jalannya upacara-upacara keagamaan. Kepala suku juga bertindak sebagai hakim dengan kekuasaan untuk menetapkan denda bagi para pelaku kejahatan. Mengadili pelanggaran-pelanggaran dan menjatuhkan denda berupa benda-benda seperti gong, pedang dan tombak. Dalam menjalankan pemerintahannya kepala suku dibantu oleh seorang pembantu, yaitu seorang pemimpin senior yang bisa menggantikan tugas kepala suku jika kepala suku berhalangan atau tidak berada di tempat. Kemudian dewan tetua desa terdiri dari para kepala rumah panjang ditambah bangsawan-bangsawan yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan penasehat. Dewan informal ini bertugas mengontrol kepala suku yang juga bangsawan itu. Kemudian ada pegawa yang terdiri dari orang-orang biasa berfungsi sebagai pejabat rendahan. Mereka menghadiri pertemuan-pertemuan dan mengumumkan keputusan-keputusan kepala suku dan para tetua kepada seluruh penduduk desa. Kelompok ini diangkat setahun sekali dan tiap-tiap anggotanya dianugerahi sebuah pedang, sebuah kapak dan seutas rantai.
     Dalam komunitas Kenyah mengenal struktur kelas yaitu bangsawan (paren), rakyat biasa  (panyin) dan kelas budak (ula). Keluarga bangsawan memilik lebih banyak memiliki gong, manik-manik dan guci serta berhak mengeksploitasi gua-gua sarang burung. Mereka juga menguasai tenaga para budak dan mampu menanam lebih banyak padi   daripada rakyat biasa. Tak seperti suku Dayak Kenyah, suku Dayak Iban rumah panjangnya identik dengan desa, ketua rumah panjang memiliki tugas berupa memelihara dan menegakkan hukum-hukum adat. Dia juga sebagai pejabat yang menjadi perantara antara komunitasnya dan pemerintah. Sedangkan di dalam suku Dayak Punan, kepala suku adalah seorang  tetua yang dihormati tetapi dia tidak memiliki kekuasaan yang riil. Mereka tidak memiliki dewan atau organisasi formal apapun.

8.     Penyelesaian Sengketa Adat Dayak

     Suku Dayak sangat menghormati Kepala Adat (Demang) yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam adat. Kepala Adat menjadi pengayom atas seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. Adat istiadat juga ditegakkan dengan sangat adil bagi masyarakat adat yang ada. Sementara itu, ada pemuka adat lain yang disebut panglima perang yang hanya berkuasa pada saat genting saja dan juga sebagai peredam/pendamai dalam masyarakat adat.
     Bila ketua adat telah menjatuhkan sanksi, maka penjatuhan sanksi untuk perkara yang diyakini akan membawa dampak buruk bagi komunitas misalnya seperti kasus hamil diluar nikah (ngampakng) atau pembunuhan, akan diikuti oleh upacara perdamaian antara kedua pihak yang berperkara, masyarakat kampung dan alam sekitarnya atau Mua Tana dalam masyarakat Dayak. Jadi penyelesaian sengketa dalam pengadilan adat tidak hanya memvonis benar-salah atau menang-kalah, tetapi juga mendamaikan para pihak, termasuk mendamaikan mereka dengan alam supaya kampung dan masyarakat tersebut bebas dari wabah penyakit, bencana alam dan hal-hal negatif lainnya.
     Kearifan inilah yang berhasil mendokumentasikan data praktek-praktek dan nilai-nilai pengadilan adat seperti keadilan, keseimbangan dan kepastian hukum. Suku Dayak tersebut meyakini peradilan adat yang sampai sekarang diabaikan oleh pemerintah sebenarnya merupakan sarana penyelesai sengketa yang cocok dengan situasi mereka.
Tujuan pendokumentasian ini adalah merenda kembali semangat dan nilai-nilai keadilan yang lahir dan hidup di kebudayaan asli mereka. Diharapkan mereka tetap bersemangat mempraktekkan pengadilan adat. Pendokumentasian ini juga membuktikan pada pihak lain, bahwa peradilan adat masih dipraktekkan di hampir seluruh suku Dayak.
     Di daerah pedalaman Kalimantan, banyak aturan yang harus ditaati dalam tata pergaulan dengan gadis-gadis remaja, tidak mentaati akan mendapat hukuman dan denda sesuai adat.
Peraturan tersebut diantaranya :
a.       Dilarang berduaan dengan seorang gadis, khususnya ditempat sepi. Tertangkap basah, mendapat hukuman adat dan harus membayar denda.
b.      Bila sedang berada di jalan, bertemu seorang gadis remaja yang belum dikenal, dilarang menatap dan mengamati sekalipun dari jarak jauh, karena apabila salah seorang keluarga si gadis remaja menyaksikan hal tersebut, akibatnya akan merepotkan karena akan dituntut dalam rapat adat.
c.       Apabila berkunjung ke rumah salah seorang penduduk kampung, tanyakan dahulu, adakah laki-laki yang berada di rumah, apabila jawaban yang diterima ada, tanyakan lagi, bolehkah datang untuk berkunjung. Apabila telah menerima jawaban yang menyatakan persetujuan, silahkan masuk untuk berkunjung. Biasanya para tamu yang datang dipersilahkan duduk di lantai dengan beralaskan tikar, karena pada umumnya mereka tidak menggunakan meja dan kursi sebagai perabotan rumah tangga. Seandainya pada saat akan berkunjung lalu bertanya tentang ada tidaknya penghuni laki-laki dalam rumah tersebut, kemudian jawaban yang berikan jatun, yang artinya tidak ada, disarankan untuk menunda kunjungan tersebut lain waktu saja sampai ada penghuni laki-laki berada di rumah. Karena bila tidak berhati-hati, kesalah pahaman mungkin saja terjadi. Suatu saat kalau datang lagi mengunjungi rumah tersebut dan telah ada penghuni laki-laki yang sedang berada di dalam rumah, jangan lupa untuk memberikan penjelasan bahwa anda telah pernah datang mengunjungi rumah mereka, namun ditunda karena tak seorang penghuni laki-laki sedang berada di rumah.
d.      Apabila sedang mengunjungi suatu keluarga, dan ketika sedang asyik berbicara dengan pemilik rumah, kemudian muncul seorang gadis, entah anak, keponakan ataupun teman melewati tempat atau ruangan itu, jangan coba mengeluarkan suara ehe-ehem. Suara ehe-ehem mempunyai dua pengertian yaitu menggoda atau menantang.
e.       Ketika menginap di rumah keluarga Dayak, sebagai tamu yang dihormati, tentu saja diurus dan dilayani dengan baik oleh keluarga tersebut. Kebaikan tersebut jangan disalah pahami karena apabila sikap tamu menjadi tidak terkontrol dan dianggap tidak sopan karena dianggap ada usaha mengganggu gadis-gadis remaja yang juga sedang berada di rumah, maka bukan tidak mungkin tamu dikeluarkan dari rumah dan diserahkan kepada Kepala Kampung atau Kepala Adat.
f.       Hajamuk ialah suatu tradisi di musim buah durian. Apabila ada tamu datang kesuatu tempat di kampung suku Dayak pada musim buah durian, maka kedatangan tamu disambut dengan lumuran daging durian yang dioleskan pada wajahnya. Sikap ini menunjukan kegembiraan, rasa hormat dan penyambutan ramah kepada tamu yang datang. Di pihak lain, diharapkan tamu yang datang dapat memahami dan tidak menjadi marah, karena hal tersebut sudah menjadi tradisi penyambutan tamu di musim durian. Biasanya hajamuk dilaksanakan oleh para gadis remaja. Untuk tamu laki-laki , yang begitu datang, wajahnya dioles daging buah durian, disarankan untuk bersikap biasa-biasa saja, karena apabila reaksi yang diberikan dimengerti sebagai sikap melecehkan perempuan Dayak, bukan tidak mungkin tamu yang baru saja datang itu di keroyok dan dipukuli oleh penduduk.
g.      Apabila ada sekelompok gadis remaja berkumpul di suatu tempat, kemudian seorang pemuda terpaksa harus melalui tempat itu, karena memang tidak ada jalan lain yang dapat dilewati, hal tersebut tidak masalah asalkan si pemuda tidak lupa memberikan salam kepada perempuan yang usianya lebih tua dan berada di tempat itu.
h.      Bila ingin aman dan selamat memasuki perkampungan suku Dayak, berhati-hatilah dalam bersikap kepada gadis remaja Dayak. Para pemuda Dayak sangat melindungi dan menghormati gadis-gadis remaja sukunya. Oleh karena itu mana mungkin mereka ihklas apabila ada orang yang mereka anggap asing memasuki daerah mereka, kemudian berusaha menggoda salah seorang gadis remaja sukunya. Apabila salah langkah, sikap, gerak gerik dan tingkah laku pemuda asing tersebut akan selalu diawasi oleh warga desa, bila kecurigaan terbukti, babak belurlah tamu pendatang tersebut karena dikeroyok ramai-ramai oleh pemuda sekampung, baru kemudian diserahkan kepada Kepala Desa.
i.        Pendatang atau tamu yang mengunjungi kampung Dayak, dan telah diterima dengan baik oleh warga kampung, mendapat perlindungan keamanan dalam hukum adat Dayak.
j.        Seorang laki-laki berada bersama seorang perempuan yang telah bersuami, hanya berduaan saja, dan diantara keduanya tidak ada hubungan kekeluargaan bahkan tidak saling kenal, dapat dituntut dalam rapat adat.
k.      Laki-laki dan perempuan berjalan berduaan tanpa seizin keluarga perempuan, juga dianggap melanggar adat.
l.        Dalam perjalanan, seorang perempuan diajak bicara oleh seorang laki-laki padahal keduanya belum saling mengenal, apabila terlihat oleh ahli waris perempuan, maka laki-laki tersebut dapat di denda karena dianggap melanggar adat.
m.    Apabila seorang laki-laki mengajak satu atau dua perempuan untuk berjalan-jalan, tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada ayah si gadis, akan lebih berat lagi apabila diantara mereka tidak saling mengenal, maka si laki-laki dianggap melakukan kesalahan dan dapat di tuntut di rapat adat.
     Hukum adat suku Dayak juga memiliki pasal yang ditujukan untuk melindungi dan menjaga orang asing yang masuk kedaerahnya. Suatu penghinaan apabila ada orang asing masuk kedaerahnya, kemudian orang asing tersebut menderita atau mengalami kesusahan di daerah suku Dayak. Dilain pihak , orang asing yang masuk ke daerah suku Dayak, juga dituntut untuk mematuhi aturan yang ada. Secara garis besar memang sama, tetapi sesuai pepatah, lain ladang, lain belalang, lain lubuk, lain ikannya, maka demikian pula dengan hukum adat Dayak. Memang ada kesamaan, tapi disana-sini ada sedikit perbedaannya.
     Dalam pelaksanaan hukum adat suku Dayak apabila berkaitan dengan masalah kriminal, moral dan pergaulan sosial, keputusan balai adat terbagi dua, yaitu hukuman berat dan hukuman ringan. Hukuman adat berupa denda yang yang sepuluh persen menjadi hak pelaksana pengadilan. Karena penjara tidak dikenal, maka hukuman selalu berupa pembayaran denda. Apabila tidak mampu membayar denda, maka seluruh harta yang dimiliki disita. Namun, apabila seorang yang tidak mampu dan tidak memiliki harta benda yang pantas disita, maka yang bersangkutan dinyatakan sebagai jipen atau budak pihak yang memenangkan perkara, sampai mampu menebus, atau ada pihak lain yang menebus, barulah ia terbebas sebagai budak. Bisa juga kebebasan itu diperoleh karena adanya rasa belas kasihan dari majikannya.
a.       Sahiring , punya dua arti. Pertama artinya pembunuhan, dan kedua tuntutan waktu perang dua kali lipat.
b.      Bali Belum, maksudnya pembunuhan namun korban yang dibunuh tidak mati.
c.       Biat berarti luka – baik luka parah, maupun luka-luka ringan.
d.      Kahasu berarti dituntut untuk selamanya.
e.       Merampas milik orang lain.
f.       Merusakan barang orang.
g.      Sala hadat artinya tidak sopan.
h.      Sala basa artinya salah bicara.
i.        Perzinahan.
j.        Tungkun, berarti mengambil isteri orang.
k.      Perkosaan.
l.        Mengacaukan persidangan.
m.    Penghinaan.
n.      Mempermalukan orang lain.
o.      Memfitnah.
p.      Berkelahi.
q.      Memaki.
r.        Masuk rumah orang tanpa izin.
s.       Warisan.
t.        Kawin-cerai.
u.      Dan lain-lain.
     Hukum Adat yang tersilah kepada Agama, menghukum siapapun yang telah yang telah menghina dan mencemarkan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat. Misalnya merusak kubur, merusak hewan, merusak petak rutas, merusak petak pali, merusak indus, merusak sandung, melanggar adat pali disaat kampung memegang rutas, melanggar adat kampung ketika memalas pali, melanggar adat pali di tempat orang melahirkan, melanggar adat pali pada saat pengobatan orang sakit, merusak pangantoho, tulah berjinah dengan saudara, tulah berjinah dengan ibu atau bapak, tulah berjinah dengan misan, merusak pantar. Denda yang diperoleh digunakan untuk memalas kampung agar terlepas dari kutukan Ranying Hatalla. Ada juga hukum adat yang berhubungan dengan pengasingan. Yaitu bagi penderita penyakit menular seperti cacar air, samah atau kusta, kamising atau kolera, luta atau jamlang. Juga ada hukum adat pengasingan kuburan bagi orang yang meninggal akibat terserang penyakit menular.

9.     Kebudayaan Nasional Indonesia

     Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau, beragam bahasa dan budaya. Sebagai sebuah negara tentu ini merupakan sesuatu yang tak biasa. Dibandingkan dengan negara-negara Eropa atau negara Timur lainnya tampak jelas perbedaannya. Secara jelas Jerman atau Korea misalnya, negara dibatasi oleh oleh ciri-ciri yang mempunyai nilai-nilai kebangsaan yang khas, karena itu munculah istilah negara-bangsa. Bisa dikatakan bahwa kebudayaan dalam sebuah negara-bangsa bersifat natural atau dengan kata lain kebudayaan bila dikonsepkan dalam suatu pernyataan politis adalah sesuatu yang terberi.
Indonesia dengan beragam budayanya merupakan sebuah bangsa. Namun sulit menjelaskan secara tegas ciri-ciri kebudayaan dalam konteks nasionalitas. Denis Lombard sejarawan yang menulis traktat sejarah pulau Jawa (Nusa Jawa Silang Budaya, 1999) melihat bahwa kebudayaan yang menjadi nilai-nilai kebangsaan di Indonesia terbentuk lewat osmose (atau difusi) bermacam kebudayaan, seperti Belanda, India, Cina dan Arab. Sampai saat ini proses akulturasi bahkan terus terjadi dalam dinamika kehidupan di kepulauan Nusantara.
     Kebudayaan sebagai konsep yang integral dengan pemahaman tentang nasionalisme baru muncul dan dalam arti tertentu dipahami setelah indonesia menjadi negara berdaulat. Termasuk kebudayaan nasional tertulis dalam Undang-Undang Dasar 45. Boleh dibilang bahwa kebudayaan nasional terbentuk seiring dengan terbentuknya ideologi negara. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila termaktub ciri khas apa yang kita kenal sebagai kepribadian bangsa. Penghormatan atas kemerdekaan, menjunjung tinggi perdamaian abadi dan keadilan sosial adalah beberapa contoh nilai-nilai yang mencerminkan nilai-nilai kebangsaan.
     kebudayaan nasional dapat diartikan sebagai keseluruhan kebudayaan yang ada di setiap daerah yang ada dalam negara Indonesia. Dalam konteks ini kita tak bisa mengatakan bahwa kebudayaan nasional adalah cerminan dari keragaman kebudayaan daerah. Dalam arti apa kebudayaan nasional dapat dipahami? Secara konseptual memang sulit memahami terma kebudayaan, namun satu hal dapat dipahami bahwa dalam konsep kebudayaan nasional terdapat sebuah kesatuan makna yang mencerminkan keindonesiaan.

10.                         Hubungan dan Kedudukan Hukum Nasional dalam Adat Dayak

     Unifikasi sistem hukum Indonesia yang ditujukan untuk mewujudkan kepastian hukum dan memudahkan penyelenggaraan hukum seakan merupakan harga mati. Hal ini tampak di setiap nafas peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang tak memberi ruang gerak kepada peradilan adat untuk menunjukkan keadilan substantifnya.
     Penyeragaman proses pembentukan, penerapan dan penegakan hukum makin berdiri angkuh dengan keadilan normatifnya seperti yang terpancar dari setiap Bab dan Pasal yang terkodifikasi rapi. Padahal, Sesungguhnya unifikasi hukum telah merenggut peradilan adat dari habitatnya, yaitu masyarakat adat. Sehingga di hampir semua komunitas adat Indonesia sistem asli masyarakat adat telah hancur.
     Penyeragaman hukum yang menjadi model pelaksanaan hukum di Indonesia  menyebabkan tugas dan fungsi perangkat adat termasuk adat Dayak sebagai unsur sistem hukum adat telah digantikan oleh peraturan desa.
     Walaupun keberadaannya terus diingkari, namun peradilan adat tetap menjadi pilihan utama masyarakat adat, terutama yang tak bisa mendapatkan akses ke pengadilan negara. Masyarakat Dayak tetap menggunakan sistem peradilan adatnya. Semboyan peradilan adat mereka seperti kenucu maram, kenucu te mulok (telunjuk busuk, telunjuk dipotong) mencerminkan sikap tegas penegakan hukum adat di komunitas ini.
     Dalam menjalankan sistem peradilan adat, berbagai komunitas sesungguhnya memiliki keyakinan dan nilai keadilan sesuai dimensi masing-masing. Misalnya, saat menjatuhkan sanksi, masyarakat adat Dayak mengacu pada prinsip kade’labih Jubata bera, kade’ Kurakng Antu bera (jika berlebihan Tuhan akan marah, jika kurang roh nenek moyang /hantu yang marah). Prinsip ini menyatakan penjatuhan sanksi adat harus didasarkan pada nilai-nilai keadilan dan keseimbangan.

·        Kesimpulan

     Dayak memiliki suku-suku yang sangat banyak dan terpencar di hampir seluruh wilayah pulau Kalimantan. Dan tiap suku tersebut memiliki ciri khas yang berbeda, walaupun semua kegiatan suku-suku tersebut hampir sama. Dan hukum yang dibuat oleh suku Dayak terus diingkari oleh negara, namun peradilan adatnya tetap menjadi pilihan utama masyarakat Dayak, mereka lebih mematuhi peraturan yang dibuat oleh masyarakat/sukunya sendiri ketimbang hukum yang di atur oleh negara. Karena mereka merasa hukum adatnya mencerminkan sikap tegas dalam penegakkan hukum di komunitas mereka.

·        Saran-Saran

     Indonesia kaya akan beragam suku budaya di dalamnya, maka itu apabila suku budaya tersebut tidak diatur atau dibiarkan begitu saja, akan berdampak hilangnya budaya tersebut. Karena suku budaya tersebut merasa mereka bukan bagian dari negara Indonesia sebab Indonesia tidak pernah memperdulikan keberadaan mereka.

DAFTAR PUSTAKA


http://www.dayakblogs.blogspot.com/
http://www.dayakology.org/
http://www.kerajaanbanjar.wordpress.com/
htpp://www.e-samarinda.com/
http://www.article.melayuonline.com/
http://www.parisada.org/
http://www.kependudukancapil.go.id/