Pages

Subscribe:

Labels

Kamis, 03 Januari 2013

hiv dan aids







BAB I


PENDAHULUAN










1. LATAR BELAKANG


Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang mudah menular. Virus HIV tersebut akan merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang mengakibatkan turun atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga memudahkan seseorang terjangkit dan meninggal karena infeksi, kanker, dan lain-lain.


Sampai saat ini masih belum ditemukan vaksin untuk pencegahannya sedangkan pengobatan yang ada sekarang hanya untuk menghambat perkembangan virus dalam darah. Penyebaran virus ini dimulai sejak seseorang terinfeksi, meskipun tidak ada tanda-tanda yang nyata secara fisik karena tampak masih sehat. Virus ini dapat menyebar melalui cairan darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu yang terinfeksi virus HIV dengan berbagai media.


Semua cara penularan HIV tersebut berkaitan erat dengan perilaku seseorang. Perilaku yang dimaksud adalah seperti hubungan seks yang tidak aman, pemakaian jarum suntik bergantian, transfusi darah, dan lain sebagainya,. Oleh karena itu, diperlukan identifikasi perilaku berisiko pada berbagai kelompok sasaran dengan baik untuk upaya intervensi pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.


Di Kalimantan Selatan sendiri sampai dengan Desember 2008 telah ditemukan sebanyak 83 kasus HIV positif dan 29 kasus AIDS. Dari tahun ke tahun diketahui adanya peningkatan kasus HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan. Kondisi yang demikian itu memerlukan kewaspadaan dan komitmen yang kuat dari semua pihak dengan ditunjang kepemimpinan yang konsisten dalam bentuk gerakan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS yang terfokus dan terkoordinasi antara lintas sektor di Kalimantan Selatan.






2. ANALISA SITUASI


2.1. Analisa Situasi


Secara umum Provinsi Kalimantan Selatan berpenduduk 3.396.680 jiwa (laki-laki 1.700.790 jiwa dan perempuan 1.695.890 jiwa) yang tersebar di 13 Kabupaten/Kota, 134 Kecamatan, 119 kelurahan, 93 desa. Secara geografis, luas Kalimantan Selatan adalah 38.742,55 km2 (SK Gubernur, Nomor : 0337 tahun 2006, tanggal 17 Juli 2006). Provinsi Kalimantan Selatan secara tata letak berbatasan dengan :


a. Sebelah Utara, Provinsi Kalimantan Timur


b. Sebelah Selatan, Laut Jawa


c. Sebelah Barat, Provinsi Kalimantan Tengah


d. Sebelah Timur, Selatan Makasar


Kasus HIV dan AIDS diketemukan pertama kali tahun 2002 setelah melakukan survilans terhadap 763 orang resiko tinggi, ternyata 4 di antaranya positif HIV. Kasus ini dari tahun ke tahun semakin meningkat, sehingga sampai dengan Desember 2008 ini, secara komulatif HIV sebanyak 83 kasus dan AIDS sebanyak 29 kasus. Ke 29 kasus AIDS tersebut terinfeksi dari hubungan seksual sebanyak 18 kasus dan IDU sebanyak 11 kasus, di mana dari kasus AIDS tersebut 10 orang di antaranya telah meninggal dan 19 lainnya masih hidup.


Perkembangan kasus HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan, dapat dilihat pada grafik di bawah ini :









Terjadinya kasus HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan, lebih dikarenakan letak geografisnya yang strategis dan mudah diakses dengan mobilitas penduduk yang tinngi, terutama daerah yang mempunyai prevalensi HIV dan AIDS yang tinggi. Maraknya industri dan pertambangan yang kadang dibarengi dengan munculnya perilaku beresiko terhadap HIV dan AIDS serta terjadi perubahan pola budaya yang permisif terhadap perilaku seks tidak aman dan penggunaan NAPZA, khususnya NAPZA suntik.


Dengan adanya penemuan kasus HIV dan AIDS di atas, maka dibentuklah Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan SK Gubernur, Nomor : 188.44/0329/KUM/2007. Dengan merujuk PERPRES, Nomor : 75 tahun 2006 KPA Provinsi Kalimantan Selatan mempunyai tugas untuk merumuskan kebijakan, strategi dan langkah-langkah yang diperlukan untuk menanggulangi AIDS di Kalimantan Selatan, sesuai dengan kebijakan, strategi dan pedoman yang sudah ditetapkan oleh KPA Nasional. Sampai saat ini baru 2 Kabupaten/Kota yang terbentuk, namun direncanakan pada tahun 2009 semua Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan telah membentuk KPA.


KPA secara kelembagaan berperan dan terlibat langsung dalam Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS, namun fungsi tersebut masih di rasa belum optimal disebabkan oleh sejumlah faktor yaitu status dan kedudukan KPA masih belum dipahami secara menyeluruh; kelompok kerja masih belum terbentuk sesuai dengan kebutuhan; kegiatan sekretariat KPA masih terbatas pada kegiatan pertemuan lintas sektor; pertemuan untuk penjangkauan populasi kunci; melakukan kegiatan surveilans, pertemuan pengurus dan koordinasi, sosialisasi kepada pengambil kebijakan, supervisi dan monitoring, dan peringatan hari AIDS se Dunia.


Rendahna tingkat Pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap HIV dan AIDS menyebabkan terjadinya stigma dan diksriminasi terhadap ODHA yang selanjutnya akan berdampak terhadap pelaksanaan kegiatan HIV dan AIDS secara umum, bahkan sampai sekarang masih berkembang polemik terhadap program penggunaan kondom sebagai upaya pencegahan penularan HIV dan AIDS.


Berikut ini gambaran kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlatih dalam pelayanan HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan sampai dengan Desember 2008:




Nomor


JENIS PELATIHAN


JUMLAH


JUMLAH



Kab/Kota


Provinsi



1


Voluntary Counselling Test


26 orang


15 orang


41 orang



2


Care Support Treatment


28 orang


22 orang


50 orang



3


Laboratorium


0 orang


2 orang


2 orang



4


Survilans


20 orang


6 orang


26 orang



5


Infeksi Menular Seksual


26 orang


5 orang


31 orang



6


Harm Reduction


4 orang


8 orang


12 orang



Sumber : DINKES Prop. Kalsel, 2008


Gambaran daftar Rumah Sakit dan fasilitas kesehatan rujukan HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan adalah sebagai berikut :




No


INSTITUSI


KEMAMPUAN



VCT


IO


CST


RAPID


ELISA


CD4


WB


RJK


ARV



1


RSU Ulin


=


=


=


=


=










=


=



2


RS Anshari Saleh


=


=


=


=














=


=



3


RS Pembalah Batung


=






=


















=







4


RS Kotabaru


=






=


















=







5


Labkesda














=


=



















4


Lab. Panasea, Prodia, dr. Tony














=


=


=


=












Sumber : DINKES Propinsi Kalsel, 2008


Meskipun demikian, sebagian dari sarana pelayanan di atas masih belum ditunjang oleh mekanisme dan prosedur tetap dan baku yang berorientasi pada pelayanan komprehensif pada klien. Keadaan ini disebabkan oleh kurangnya rasa tanggungjawab moral terhadap ilmu yang dimilikinya. Selain itu masih banyak ditemukan penempatan dan pemanfaatan tenaga terlatih yang bukan pada bidang kompetensinya.


Peran sektor masyarakat sipil, khususnya pada sebagian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kalimantan Selatan dapat dilihat dalam berbagai kegiatan dan aktivitas pada wilayah hotspot tertentu dengan bentuk kegiatan seperti KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) untuk masyarakat umum, KIE dalam bentuk penjangkauan dan pendampingan pada kelompok resiko tinggi (PSK perempuan), pelatihan pendidik sebaya, konseling, kampanye kondom 100 persen, screening IMS, VCT dan pelayanan rujukan, koordinasi dengan stakeholder, provider dan IMS, dan peringatan moment penting (malam renungan AIDS dan hari AIDS se Dunia). Meskipun sudah melakukan sejumlah kegiatan namun KPA Provinsi dan LSM di Kalimantan Selatan masih belum ada yang menjangkau dan mendampingi kelompok resiko tinggi lainnya secara intensif lelaki seks lelaki, kelompok waria, OHIDHA, dan bayi yang terinfeksi HIV.






2.2. Kecenderungan Masa Depan


a. Kecenderungan Kelompok Beresiko


Estimasi jumlah WPS (Wanita Pekerja Seks), Penasun (Pengguna Napza Suntik), klien (tamu), dan estimasi lelaki seks dengan lelaki (LSL) digambarkan sebagaimana tabel di bawah ini :




No


KAB/KOTA


PENASUN


WBP*


WPS


TAMU


LSL


WARIA



1


Banjarmasin


2.730


990


500


5.470


2.800


130



2


Tanah Bumbu


1.000






390


5.760


280


110



3


Tabalong


840


140


70


990


230


10



4


Banjar


470


455


120


1.900


660


10



5


Kota Baru


300


388


300


2.560


720


20



6


Tanah Laut


290


163


70


1.060


320


10



7


HSU


210


286










240


80



8


HST


260


67










280







9


HSS


220


103










240







10


Tapin


50


82


50


650


200


10



11


Barito Kuala


30


87






70


320







12


Banjarbaru


110






180


2.720


180


80



13


Balangan


110






120


40


120







Sumber : DEPKUMHAM Kalsel, 2008


WBP* kasus NARKOBA sebanyak 609 orang (laki, 344 orang dan perempuan, 65 orang), kasus Non NARKOBA sebanyak 1.003 orang (laki, 1.500 dan perempuan, 13 orang).


b. Kecenderungan Respons


Peraturan Presiden RI, Nomor: 75 Tahun 2006 mengamanatkan perlunya peningkatan upaya penanggulangan HIV Dan AIDS di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, respon ditujukan untuk meminimalisir semaksimal mungkin peningkatan kasus baru dan kematian.


Cara yang strategis dan meyakinkan untuk menumbuhkan respon masyarakat terhadap HIV dan AIDS adalah dengan memperkuat dan mensosialisasikan urgensi dan peran penting Komisi Penanggulangan AIDS pada semua tingkat. Diharapkan anggaran pemerintah dalam Penanggulangan AIDS akan meningkat sejalan kompleksitas masalah yang dihadapi.


Masyarakat sipil, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pengusaha, tokoh agama dan tokoh masyarakat diharapkan dapat meningkatkan perannya sebagai mitra pemerintah dalam penanggulangan HIV dan AIDS sampai pada tingkat terkecil dengan tidak melihat latar belakangnya dari mana seseorang itu berasal.


Seandainya tidak ada respon dan intervensi yang komprehensif dari seluruh lapisan masyarakat terhadap HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan, maka yang akan terjadi adalah seperti dalam tabel simulasi di bawah ini :









Sumber : SIMULASI Propinsi Kalimantan Selatan


3. DAMPAK SOSIAL DAN EKONOMI


3.1. Dampak terhadap Demografi dan Akibatnya


Kecenderungan pola penyebaran epidemi HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan terjadi pada orang yang rata-rata berumur 20 – 30 tahun, tentu ini akan berdampak terhadap indikator demografi. Lebih jauh, tingginya kelompok umur yang produktif yang terinfeksi virus dapat berdampak pada terganggunya pola kontribusi ekonomi; pola regenerasi; fungsi reproduksi; dan ketenagakerjaan juga akan mengalami degradasi yang cukup signifikan.






3.2. Dampak terhadap Sistem Pelayanan Kesehatan


Cepatnya penyebaran HIV dan AIDS pada kelompok berisiko maka akan semakin banyak pula orang yang menjadi sakit dan membutuhkan jasa pelayanan kesehatan. Sebagai konsekuensi yang harus dilakukan oleh penyelenggara jasa pelayanan kesehatan terhadap semakin banyaknya orang yang menjadi sakit itu maka dilakukanlah sejumlah hal seperti ketersediaan tenaga medis dan non medis yang terampil dan peduli; kejelasan tempat yang mudah diakses; kepastian harga dan waktu pelayanan; jaminan pelayanan; dan kesiapan sarana dan prasarana.


Sementara itu, pada sisi lain perkembangan dari penyakit yang lamban dari orang yang terinfeksi HIV tentu akan membutuhkan perawatan kesehatan yang panjang. Oleh karena itu, dibutuhkan waktu panjang untuk mendampingi dan bagi yang mendampingi tersebut maka yang bersangkutan tidak dapat melakukan kegiatan produktif yang lainnya. Waktu dan sumberdaya yang diberikan untuk mendampingi dan merawat pasien HIV dan AIDS akan mempengaruhi terhadap pengembangan dan pelaksanaan program lainnya dan menghabiskan sumber daya untuk kegiatan kesehatan lainnya.






3.3. Dampak terhadap Ekonomi


Penderita HIV dan AIDS secara nasional maupun di Kalimantan Selatan berasal dari kalangan usia muda dan terhitung masih produktif, epidemi HIV dan AIDS akan mempunyai dampak pada ketersediaan dan produkfitas angkatan kerja.


Seseorang yang terinfeksi HIV dan AIDS akan memerlukan perawatan yang cukup panjang dan memerlukan biaya yang tidak sedikit, tentu akan membawa pengaruh terhadap ekonomi keluarga, dan bukan tidak mungkin akan mengakibatkan kemiskinan akibat ketidakseimbangan ekonomi tersebut.


HIV dan AIDS juga mempunyai peran dalam mengurangi motivasi pekerja yang terinfeksi (takut akan diskriminasi, kehilangan rekan kerja, rasa khawatir yang berkepanjangan), sehingga akan mengurangi ketidakhadiran karena izin sakit, percepatan masa penggantian pekerja karena kehilangan pekerja professional, menurunnya produktifitas dan bertambahnya investasi. Hal ini akan sangat berdampak pada sektor usaha.






3.4. Dampak terhadap Tatanan Sosial


Masih berkembangnya stigma dan diskriminasi terhadap pengidap HIV dan AIDS di tengah masyarakat, akan berpengaruh secara signifikan terhadap tatanan sosial karena pengidap HIV dan AIDS dapat kehilangan kasih sayang dan kehilangan kehangatan pergaulan sosial.


Provinsi Kalimantan Selatan yang dikenal dengan masyarakat yang religious, disamping berdampak positif juga berdampak terhadap timbulnya stigma dan diskriminasi di lapisan masyarakat terhadap ODHA.


Orang dengan HIV sebagian di antara mereka akan kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan yang pada akhirnya akan menimbulkan kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat. Keretakan rumah tangga pun dapat terjadi, Jumlah anak yatim piatu akan bertambah yang akan berimbas pada masalah sosial tersendiri.






4. ISU-ISU PENTING


4.1. Hubungan Seks Beresiko


Dampak negatif dari pertumbuhan industri di Indonesia selalu dibarengi dengan munculnya hubungan seks beresiko, tidak terkecuali di Kalimantan Selatan. Jumlah pekerja seks baik perempuan, laki-laki dan waria meningkat dari tahun ke tahun. Dari data jumlah kasus di HIV AIDS di Kalimantan Selatan, dominan di temukan pada kelompok berisiko seksual.


Pekerja Seks (PS) yang terkonsentrasi pada suatu tempat tertentu dan umumnya pula berada dilingkungan bisnis hiburan, seperti karaoke, restoran, salon kecantikan, panti pijat, dan lain sebagainya. PS merupakan sub populasi berperilaku resiko tinggi bersama dengan waria, lelaki seks dengan lelaki.


Menurut estimasi KPA Nasional, jumlah orang yang berperilaku resiko tinggi di Kalimantan Selatan tergambar dalam tabel berikut ini:




No


KAB/KOTA


PENASUN


WPS


PELANGGAN


LSL


WARIA



1


Banjarmasin


2.730


500


5.470


2.800


130



2


Tanah Bumbu


1.000


390


5.760


280


110



3


Tabalong


840


70


990


230


10



4


Banjar


470


120


1.900


660


10



5


Kota Baru


300


300


2.560


720


20



6


Tanah Laut


290


70


1.060


320


10



7


Hulu Sungai Utara


210










240


80



8


Hulu Sungai Tengah


260










280







9


Hulu Sungai Selatan


220










240







10


Tapin


50


50


650


200


10



11


Barito Kuala


30






70


320







12


Banjarbaru


110


180


2.720


180


80



13


Balangan


110


120


40


120











4.2. Work Place HIV dan AIDS


Maraknya pertambangan dan industri yang mempekerjakan ribuan tenaga kerja dengan berbagai jenis pekerjaan menjadi salah satu predisposing factor (faktor penguat) yang memicu penularan HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan.


Sektor pertambangan batu bara, biji besi, industri kayu dan manufaktur menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Titik berat intervensi lebih difokuskan pada sektor pertambangan, khususnya batu bara karena disadari pada sektor ini diikuti oleh munculnya industri prostitusi dan penggunaan NAPZA.






4.3. Jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan (WPB)


Jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Kalimantan Selatan dari tahun ke tahun meningkat. Sampai dengan tahun 2008, jumlah WBP di Kalimantan Selatan (Sumber:DEPKUMHAM Kalsel, 2008) adalah sebagai berikut : Banjarmasin (990 orang); Tabalong (140 orang); Banjar (455 orang); Kotabaru (388 orang); Tanah Laut (163 orang); Hulu Sungai Utara (286 orang); Hulu Sungai Tengah (67 orang); Hulu Sungai Selatan (103 orang); Tapin (82 orang); dan Barito Kuala (87 orang).


Berdasarkan pengamatan pada sejumlah Lapas di Kalimantan Selatan ternyata sejumlah Lapas yang ada sudah tidak memenuhi syarat lagi untuk di tempati dikarenakan sudah melebihi kapasitas daya tampung yang ideal, di samping itu juga adanya perilaku seksual di antara sesama penghuni lapas yang dianggap menyimpang. Keadaan ini mempengaruhi penyebaran HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan.






4.4. Stigma dan Diskriminasi


Umumnya pengetahuan, pemahaman dan kepedulian masyarakat, keluarga dan OHIDA terhadap masalah HIV dan AIDS masih rendah. Perlakuan yang buruk dan pengucilan dari pergaulan sosial terhadap pengidap HIV dan AIDS masih sering terjadi dan ditemukan ditengah-tengah masyarakat dan keluarga.


Kekurangpahaman masyarakat ini terjadi karena kurangnya sosialisasi tentang HIV dan AIDS dengan berbagai media dan pendekatan. Akibat lebih jauh adalah memicu berkembangnya stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODHA untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, di tempat kerja, pelayanan publik.






4.5. Penasun (Pengguna Napza Suntik)


Tingginya penggunaan narkoba dapat menimbulkan bertambahnya pengguna Napza jarum suntik di Kalimantan selatan. Ditengarai pula penggunaan Napza suntik di daerah tambang masih tinggi karena masih lemahnya pengawasan dan akses yang jauh dari keramaian karena beroperasi jauh di pedalaman. Konsekuensi logis dari perilaku ini adalah semakin besarnya perilaku berisiko tinggi terhadap penularan HIV dan AIDS.






4.6. Ibu dan Anak


Di Kalimantan Selatan ditemukan beberapa kasus HIV dan AIDS pada ibu dan anak. Sejauh ini kasus tersebut masih menjadi bahan polemik. Kasus HIV dan AIDS dominan ditemukan pada kelompok ibu dalam usia produktif. Meskipun sampai saat ini belum ada data yang valid mengenai berapa jumlah ibu yang terkena HIV dan AIDS. Namun, berdasarkan hasil sero survey jumlah penderita HIV dan AIDS pada kelompok ibu muda di Kalimantan Selatan adalah besar.










4.7. Pendanaan


Estimasi pendanaan untuk menanggulangi HIV dan AIDS, sebagaimana tergambar dalam tabel di bawah ini :









Sedang estimasi kebutuhan dana RAN, dana yang tersedia, dan kekurangan dana, sebagaimana terlihat dalam tabel berikut ini :









5. TANTANGAN


5.1. Stigma dan Diskriminasi


Tantangan utama dan potensial yang menghambat pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan adalah masih adanya stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODHA di masyarakat. Perilaku diskriminasi sering dialami oleh ODHA baik di unit pelayanan kesehatan, tempat kerja, di tempat pelayanan publik, lingkungan keluarga, dan masyarakat umum.


Meminimalisir keadaan tersebut di atas haruslah menjadi bagian integral dan prioritas utama dari upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Oleh karenanya, sangat perlu dukungan dan peran aktif berbagai pihak baik sektor pemerintah, pengusaha, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan masyarakat umum dalam mengatasi stigma dan diskriminasi sangat diperlukan. Komunikasi yang jujur tentang HIV dan AIDS, cara penularan dan pencegahan di antara sesama menjadi sangat penting untuk dilaksanakan.






5.2. Norma-Norma dan Perilaku Sosial


Sampai saat ini masih berkembang pandangan negatif sebagian masyarakat terhadap kampanye penggunaan kondom untuk hubungan seks yang aman. Pandangan tersebut sangat mempengaruhi dan mempercepat jalannya epidemi HIV.


Komunikasi yang buruk di antara pasangan dalam kebutuhan seksual dengan tidak menempatkan posisi perempuan setara dengan laki-laki, rasa ketergantungan perempuan terhadap laki-laki secara emosi dan sosial ekonomi, telah mengurangi daya tawar dan kemampuan perempuan untuk meminta hubungan seks yang aman sebagai rasa tanggungjawab kesehatan.






5.3. Koordinasi Multipihak terhadap Respon


Untuk mencegah dan menanggulangi HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan sungguh sangat tidak mungkin dilakukan oleh KPA sendiri. Oleh karena itu, sebagai tindak-lanjut dari adanya respon positif dan efektif terhadap HIV harus didasarkan kebersamaan dengan melibatkan dan mengikut-sertakan seluruh komponen lapisan masyarakat.


Sangat penting dukungan dari pemerintah sebagai instansi pengambil kebijakan dan komitmen politik untuk mensukseskan usaha pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Meskipun telah banyak masyarakat yang menyuarakan pentingnya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, tetapi adanya kemauan politis masih sangat dibutukan. Komitmen politis dan dinamika nyata yang berkesinambungan serta kepemimpinan yang menyentuh banyak orang sajalh yang dapat melawan epidemi HIV dan AIDS.


Keterlibatan instansi, lembaga, organisasi, pengusaha dan seluruh lapisan masyarakat dalam sebuah bingkai koordinasi yang dinamis akan sangat membantu suksesnya percepatan dalam penanggulangan epidemi, tidak hanya terbatas pada adanya niat baik tetapi harus dibarengi dengan tindakan nyata di lapangan.














5.4. Kebutuhan Remaja dan Dewasa Muda


Penderita HIV dan AIDS dalam kenyataan di lapangan banyak berasal dari kalangan usia muda produktif, hal ini berbanding lurus dengan semakin banyaknya pengguna NAPZA. Oleh karena itu, pada saat usia menginjak remaja dan dewasa muda, seharusnya di kalangan mereka inilah yang menjadi kelompok sasaran komunikasi dan edukasi agar tidak masuk dalam kelompok resiko tinggi.


Hasil studi tahun 2005 di 4 kota besar di Indonesia menunjukkan bahwa pengalaman pertama hubungan seks diluar nikah dilakukan pada kisaran umur 18 tahun. Oleh karena itu, pemberian informasi kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi pada kalangan remaja dan dewasa muda menjadi sesuatu yang penting dan tidak menabukan masalah tersebut.






5.5. Kebutuhan memperluas Perawatan, Pengobatan dan Dukungan


Sejak ditemukan pertama kali di Kalimantan Selatan tahun 2002, jumlah penderita HIV dan AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Kondisi ini membawa konsekuensi terhadap adanya prioritas perbaikan dan peningkatan kualitas perawatan HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan.


Sampai saat ini sebanyak 4 RSUD di Kalimantan Selatan (RSUD Ulin, RSU Anshari Saleh, RSUD Pembalah Batung, dan RSUD Kotabaru) telah siap melakukan perawatan dan pengobatan ARV meskipun dengan keterbatasan fasilitas, harus diakui bahwa kinerja RSU tersebut belum berjalan dengan optimal. Tetapi kedepannya, perawatan dan pengobatan perlu diperluas jangkauannya dengan menyertakan Puskesmas sebagai upaya mendekatkan pelayanan masyarakat yang membutuhkan, khususnya Puskesmas yang mempunyai hotspot perilaku beresiko.


Pelatihan terhadap tenaga kesehatan perlu ditingkatkan kuantitas maupun kualitasnya dengan menitikberatkan pada terbentuknya koordinasi disemua lini agar mereka mempunyai kepedulian dan mau melakukan pemberian pelayanan pencegahan, perawatan, pemberian ARV, pengobatan infeksi oportunistik, dukungan psikososial dan meningkatkan nutrisi pada penderita HIV dan AIDS.






5.6. Lemahnya Sistem Screening Darah


Sistem transfusi darah di PMI, sebenarnya sangat membantu banyak orang yang membutuhkan, tetapi jika darah tersebut terinfeksi HIV justru akan menimbulkan masalah bagi membutuhkan.


Oleh karena itu, sistem transfusi darah yang seharusnya diberlakukan harus melewati proses konseling yang dapat membuka pola perilaku orang tersebut, apa pernah mempunyai perilaku beresiko. Jika kemudian jawaban pernah, maka perlu menunggu sampai 6 bulan, karena dalam jangka waktu tersebut masih dalam masa jendela yang tidak memungkinkan memastikan seseorang positif atau negatif HIV.


































BAB II


STRATEGI PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS










1. VISI DAN MISI


1.1. Visi


Terkendalinya penyebaran epidemi HIV dan AIDS di Propinsi Kalimantan Selatan






1.2. Misi


a. Meningkatkan kesadaran dan kepedulian terhadap HIV dan AIDS


b. Mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap ODHA


c. Meningkatkan akses dan penguatan sistem pelayanan kesehatan


d. Meningkatkan dan memberdayakan kualitas hidup ODHA


e. Membentuk dan memperkuat koordinasi jejaring lintas sektor






2. TUJUAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS


2.1. Tujuan Umum


Mencegah dan mengurangi penularan HIV dengan mendorong dan melibatkan seluruh komponen masyarakat dan meningkatkan kualitas hidup ODHA serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat.










2.2. Tujuan Khusus


a. Menyediakan, menyebarluaskan informasi dan menciptakan suasana yang kondusif dalam rangka mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS dengan menitikberatkan pencegahan pada sub populasi berperilaku berisiko dan lingkungannya dengan tetap memperhatikan sub-populasi lainnya.


b. Menyediakan dan meningkatkan mutu pelayanan perawatan, pengobatan dan dukungan kepada ODHA yang terintegrasi dengan upaya pencegahan.


c. Meningkatkan peran serta remaja, perempuan, keluarga dan masyarakat umum termasuk ODHA dalam berbagai upaya penanggulangan HIV dan AIDS.


d. Mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara lembaga penerintah dan masyarakat sipil, antara lain : LSM, sektor swasta, dunia usaha organisasi profesi, dan mitra internasional di daerah untuk meningkatkan respon terhadap HIV dan AIDS.


e. Meningkatkan koordinasi kebijakan di daerah serta inisiatif lokal dalam penanggulangan HIV dan AIDS.






3. DASAR HUKUM


3.1. Peraturan Presiden, Nomor : 75 tahun 2006, tentang Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.


3.2. Peraturan Menteri Dalam Negeri, Nomor : 13 tahun 2006, tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.


3.3. Peraturan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Nomor : 3/PER/MENKO/KESRA/III tahun 2007, tentang Susunan, Tugas, dan Fungsi Keanggotaan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.


3.4. Peraturan Menteri Koordinator Kesejahteraan Sosial, Nomor : 7/PER/MENKO/KESRA/III tahun 2007, tentang Strategi Nasional Penanggulangan AIDS Indonesia, tahun 2007 – 2010.


3.5. Peraturan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Nomor : 8/PER/MENKO/KESRA/ tahun 2007, tentang Pemberlakuan Pedoman Nasional Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan HIV dan AIDS di seluruh Indonesia.


3.6. Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor : 188.44/0329 /KUM/2007 Tentang Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Kalimantan Selatan.






4. DASAR KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS


HIV dan AIDS sangat erat kaitannya dengan perilaku beresiko, karenanya pencegahan dan penanggulangannya harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut. Kenyataan di Kalimantan Selatan, persentase kasus HIV dan AIDS diidap oleh sebagian besar mereka yang berperilaku beresiko --dengan tidak menafikan HIV dan AIDS juga diidap oleh mereka yang tidak berperilaku beresiko— merupakan sub-populasi yang dimarjinalkan.


Oleh karena itulah, program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS harus tetap mengedepankan pertimbangan kesehatan serta dengan memperhatikan nilai-nilai keagamaan, adat istiadat dan norma masyarakat yang berlaku. Pelaksanaan program tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, tentu harus juga mempertimbangkan keterlibatan semua unsur di masyarakat melalui koordinasi multipihak.


Atas dasar pemikiran tersebut di atas, maka kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan adalah sebagai berikut :


4.1. Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS harus mengedepankan pertimbangan kesehatan, nilai-nilai agama dan norma-norma kemasyarakatan serta kegiatannya diarahkan untuk mempertahankan dan memperkokoh ketahanan dan kesejahteraan keluarga;


4.2. Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS diutamakan pada sub-populasi berperilaku berisiko dengan tetap memperhatikan masyarakat yang rentan, termasuk di dalamnya berkaitan karena pekerjaannya dan masyarakat yang termarjinalkan.


4.3. Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS diselenggarakan oleh berbagai masyarakat sipil (LSM, KDS, ODHA, dan OHIDHA) sesuai dengan karakteristik lembaga masing-masing dengan difasilitasi pemerintah atas dasar kemitraan yang berkewajiban untuk membimbing dan menciptakan suasana yang kondusif untuk mendukung terselenggaranya upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.


4.4. Upaya pencegahan dan penanggulangan harus didasari bahwa masalah HIV dan AIDS sudah menjadi masalah sosial kemasyarakatan serta masalah nasional di mana pencegahan dan penanggulangannya dirumuskan melalui “Gerakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS”.


4.5. Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS harus tetap :


a. Menghormati harkat dan martabat manusia dari segi jenis kelamin, orientasi seks, umur, suku, warna kulit, fisik, agama, aliran politik, status sosial dan ekonomi.


b. Menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender, demokrasi, keadilan sosial.


c. Melakukan pelayanan dengan pendekatan hak asasi manusia.


4.6. Upaya pencegahan HIV dan AIDS di kalangan anak sekolah, remaja dan masyarakat umum yang tidak berperilaku berisiko diselenggarakan melalui komunikasi, informasi dan edukasi dengan maksud untuk mendorong terciptanya kehidupan yang sehat.


4.7. Upaya penggunaan kondom 100% pada setiap hubungan seks berisiko terinfeksi HIV dan AIDS semata-mata untuk memutus mata rantai penularan IMS, termasuk HIV.


4.8. Upaya mengurangi infeksi HIV pada pengguna NAPZA SUNTIK dilakukan melalui kegiatan pengurangan dampak buruk (harm reduction) yang dilaksanakan secara komprehensif.


4.9. Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS merupakan upaya yang terpadu dari peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan, perawatan berdasar dan fakta ilmiah serta dukungan terhadap ODHA.


4.10. Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV dan AIDS harus didahului dengan memberikan penjelasan dan mendapat persetujuan yang bersangkutan. Konseling harus dilakukan sebelum dan sesudah pemeriksaan dan hasil pemeriksaan diberitahukan kepada yang bersangkutan dan dirahasiakan tidak untuk konsumsi publik (VCT).


4.11. Diperlukan peraturan perundang-undangan dan regulasi sebagai landasan hukum untuk kepastian hukum dan kesinambungan program penanggulangan dan Pencegahan HIV dan AIDS.


4.12. Setiap pemberi pelayanan berkewajiban memberikan layanan tanpa stigma dan diskriminasi kepada ODHA dan OHIDHA.


4.13. Upaya pencegahan terhadap ibu dan anak merupakan elemen penting dan bagian integral dari keseluruhan program pengendalian HIV AIDS.






5. STRATEGI


Untuk mencapai tujuan RENCANA STRATEGI KPA Propinsi Kalimantan Selatan, maka strategi yang digunakan antara lain adalah :


5.1. Meningkatkan dan Memperluas Upaya Pencegahan yang Efektif.


Dalam rangka Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS maka diperlukan adanya peningkatan dan perluasan dengan mengutamakan pada upaya-upaya yang sudah nyata efektif, seperti penggunaan kondom setiap saat berhubungan seks berisiko, pengurangan dampak buruk penggunaan alat suntik yang tidak steril, penanggulangan IMS dengan skala yang luas sehingga berdampak terhadap jalannya epidemi dengan menurunnya insiden dan kasus HIV dan AIDS.






5.2. Memberdayakan Individu, Keluarga dan Komunitas dalam Pencegahan HIV di Lingkungannya.


Segala daya dan upaya dilakukan untuk mendorong individu, keluarga dan komunitas agar terlibat secara aktif dalam kegiatan pencegahan di lingkungannya masing-masing. Oleh karena itu, individu, keluarga dan komunitas didorong agar mampu melindungi diri dari bahaya terinfeksi HIV melalui berbagai bentuk komunikasi, informasi, edukasi, advokasi.


Keterlibatan banyak pihak dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS akan mendorong perubahan tatanan sosial menuju kesetaraan gender dan kepedulian akan kehidupan seksual yang aman dan sehat.






5.3. Meningkatkan dan Memperkuat Sistem Pelayanan Kesehatan Dasar dan Rujukan untuk Mengantisipasi Peningkatan Jumlah ODHA yang memerlukan Akses Perawatan dan Pengobatan.


Peningkatan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS berart semakin meningkatnya cakupan pelayanan sehingga akan terjadi peningkatan jumlah ODHA yang memanfaatkan perawatan dan pengobatan. Oleh karena itu, dalam peningkatan dan perluasan kegiatan yang komprehensif maka akan semakin banyak keterlibatan pusat pelayanan lain secara bertahap, seperti Puskesmas.






5.4. Meningkatkan Kemampuan dan Memberdayakan SDM yang Terlibat.


Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlibat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS yang bekerja dalam berbagai bidang dengan jumlah yang banyak seiring dengan luasnya wilayah kegiatan. Keterlibatan mereka dalam kegiatan perlu diiringi dengan peningkatan kualitas SDM dengan pelatihan sesuai dengan bidang kegiatan yang ditekuni dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.






5.5. Memobilisasi Sumberdaya dan Mengefektifkan Penggunaannya


Perluasan kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS akan sangat memerlukan dana yang cukup besar. Dana yang diperoleh dari berbagai sumber akan dimobilisir secara efektif dan tepat guna untuk tujuan yang jelas. Penumpukan dana pada satu kegiatan dengan melupakan dana pada kegiatan yang lain sangat dihindari.






















































































BAB III


AREA PRIORITAS PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS










Situasi epidemi AIDS di Kalimantan selatan sejak diidentifikasi pertama kali pada tahun 2002 sampai sekarang dengan 2008 menunjukkan bahwa Kalimantan Selatan secara epidemilogis masih dalam tingkat epidemi terkonsentrasi. Hal ini dapat dilihat pada angka prevalensi HIV dan AIDS serta IMS pada kelompok wanita pekerja seks dan NAPI yang memperlihatkan kecenderungan terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Fakta terakhir juga menunjukkan adanya indikasi bahwa kasus HIV dan AIDS sudah masuk dalam populasi umum. Meskipun kasusnya belum besar, namun hal tersebut memberikan gambaran mengenai cepatnya epidemi berlangsung di Kalimantan Selatan.


Pada dasarnya penyebaran HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan mengikuti sebuah pola atau alur yang saling terkait dengan membentuk sebuah siklus penularan HIV. Pertambangan, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun perusahaan skala besar dan kecil mengakibatkan mobilitas penduduk luar dan masuk Banjarmasin sangat dinamis, perusahaan mempekerjakan ribuan karyawan dengan berbagai jenis pekerjaan mulai dari kegiatan penambangan, pengangkutan dan transportasi sampai kegiatan kepelabuhanan yang akhirnya melahirkan kelompok rentan tersendiri. Kehadiran industri dengan ribuan pekerja pada akhirnya memunculkan lokalisasi-lokalisasi sebagai sebuah mutualisme. Pada sisi lain, lokasi tambang yang terisolir dan proses kerja yang cukup berat sangat memungkinkan mereka untuk mengkonsumsi NAPZA. Disadari bahwa sektor ini sangat signifikan memicu lajunya aktivitas perekonomian, ada anekdot yang berkembang di Banjarmasin bahwa untuk melihat marak tidaknya tambang batu bara dapat dilihat dari tingkat keramaian pengunjung tempat hiburan malam.


Dengan pola penyebaran tersebut, Program Penanggulangan AIDS di Kalimantan Selatan diarahkan pada area program pencegahan sebagai program prioritas, area program perawatan, pengobatan dan dukungan, area surveilans, dan area kesinambungan penanggulangan.






1. AREA PENCEGAHAN IMS, HIV DAN AIDS


Bahwa sesungguhnya mencegah itu lebih baik daripada mengobati dan mencermati realitas penyebaran HIV AIDS di Kalimantan Selatan saat ini, maka Area Pencegahan IMS, HIV dan AIDS merupakan prioritas utama yang perlu dilakukan dengan tidak mengenyampingkan tiga area lainnya. Intervensi dalam area pencegahan ini terutama diarahkan untuk merubah pengetahuan, sikap dan perilaku, terutama pada kelompok resiko tinggi.


Kelompok sasaran area pencegahan di Kalimantan selatan, akan diarahkan kepada:


- Orang/Kelompok yang berperilaku beresiko dan beresiko tertular


Adalah mereka yang karena perilakunya menempatkan dirinya sebagai kelompok berisiko, termasuk dalam sub populasi ini adalah pekerja seks baik pria maupun wanita, Waria pekerja seks, PENASUN, LSL dan Pelanggan Pekerja Seks atau Waria.


- Orang yang tertular


Adalah mereka yang sudah terinfeksi HIV. Pencegahan ditujukan untuk menghambat perkembangan HIV, memelihara produktifitas dan meningkatkan kualitas hidup.


- Orang/Kelompok rentan


Kelompok ini adalah orang yang karena lingkup pekerjaan, lingkungan, dan kondisi kesehatannya menyebabkan mereka rentan. Dalam sub-populasi ini adalah mereka yang mobilitasnya tinggi, pekerja yang terpisah jauh dan lama dengan keluarga, TNI/Polri, pelaut, tenaga kesehatan, ibu hamil, penerima transfusi darah, dan NAPI.


- Populasi Umum


Populasi ini adalah mereka yang tidak termasuk dari ketiga kelompok di atas, yaitu ibu rumah tangga, masyarakat/dunia pendidikan, tokoh-tokoh masyarakat, agama, adat.


1.1. Tujuan


Meningkatnya kemampuan individu untuk mencegah dan melindungi dirinya agar tidak tertular HIV dan tidak menularkan kepada orang lain.






1.2. Program


Untuk mencapai tujuan pencegahan dengan berbagai sasaran, maka program yang dilaksanakan adalah sebagai berikut:


a. KIE pada Populasi Umum dan kelompok rentan


Ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, perilaku dan kemampuan untuk mencegah diri sendiri dan keluarga dari tertular HIV dan AIDS. Variasi penggunaan media untuk KIE harus mempertimbangkan karakteristik kelompok sasaran yang dituju.


Penyebarluasan dan peningkatan cakupan KIE meliputi semua kelompok masyarakat dengan memperhatikan isi dan efektifitas serta kualitas pesan yang disampaikan.






b. KIE terfokus pada kelompok berperilaku beresiko dan beresiko tertular


Ditujukan dalam rangka meningkatkan kecakapan dalam perlindungan khusus dan konsistensi sikap positif terhadap upaya pencegahan.


Arah program lebih terfokus kepada perubahan perilaku langsung dari kelompok berisiko. Model KIE dan media yang dipilih dikembangkan secara lebih spesifik dan menjadi konsumsi terbatas hanya bagi kelompok beresiko.






c. Peningkatan pelayanan VCT


Perluasan cakupan dengan jalan meningkatkan jumlah aksesibilitas masyarakat, dan meningkatkan kualitas layanan dan SDM, terutama pada Rumah sakit rujukan HIV dan AIDS. Sebagai entry point semua pelayanan maka Klinik VCT di Rumah Sakit harus dipastikan keberadaannya dan berjalan dengan sistem yang berorientasi terhadap klien.


Pengembangan model pelayanan VCT yang tidak hanya terpaku pada model layanan VCT statis. Namun juga dikembangkan sejumlah model VCT yang lain sesuai dengan kebutuhan.


Peningkatan sarana pendukung Konseling dan Diagnosis serta promosi untuk meningkatkan jangkauan bagi masyarakat terutama kelompok berisiko dan rentan.






d. Penjangkauan dan Pendampingan RISTI


Di perlukan keterlibatan multi pihak yang lebih kongkrit pada program ini, terutama kelompok masyarakat. Besarnya jumlah sararan yang harus dijangkau serta penyebarannya yang luas menyebabkan program ini tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga atau instansi saja. Universal akses yang ditujukan untuk menjangkau 80 % kelompok resiko tinggi merupakan tanggung jawab semua stakeholder di Kalimantan Selatan.






e. Intervensi di Tempat Kerja (Work Place)


Program penanggulangan HIV AIDS menjadi program internal di perusahaan dan industri seharusnya menjadi bagian dari kebijakan manajemen. Dengan mencermati banyaknya kelompok rentan di tempat kerja, khususnya di sektor pertambangan maka program komprehensif perlu dijalankan sebagai bagian integral dari perusahaan. Peningkatan program Out Reach, VCT, KIE, CUP 100% ditempat kerja dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi.






f. Peningkatan penggunakan kondom pada hubungan seks berisiko


Termasuk didalamnya adalah Intervensi Perubahan Perilaku (BCI), memastikan ketersediaan, distribusi serta sistem yang memungkinkan kondom dipakai pada setiap hubungan seks berisiko. Keterlibatan lintas sektor mutlak diperlukan untuk meminimalisir polemik tentang program kondom ini di Kalimantan Selatan.






g. Pengurangan dampak buruk penyalah-gunaan NAPZA suntik.


Upaya penjangkauan dan pendampingan sangat penting dilakukan di Kalimantan Selatan pada kelompok Penasun masih cukup kecil dan kelompok Penasun kemungkinan jumlahnya cukup besar tapi belum diidentifkasi dan dijangkau.


Diperlukan adanya koordinasi dengan sektor terkait, khusunya POLRI, mengingat beberapa bagian kegiatan cukup sensitif dengan masalah hukum. Disamping itu diperlukan juga regulasi yang mendukung pelaksanaan program penanggulangan dan pencegahan HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan.






h. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi (PMTCT)


Intervensi dimulai pada perempuan usia produktif, penilaian resiko kehamilan bagi ibu dan bayinya, dukungan psikososial bagi ibu positif dan pelibatan bidan, dokter kandungan dan institusi pelayanan kesehatan Ibu dan anak dalam program ini.


Informasi, Juklak atau Juknis dan peningkatan kemampuan PMTCT terutama ditujukan pada institusi pemberi pelayanan KIA seperti Rumah sakit bersalin, Klinik ibu dan anak, Praktek Dokter kandungan/anak dan Bidan.






i. Penanggulangan infeksi menular seksual (IMS)


Peningkatan Surveilans untuk mengidentifkasi, penatalaksanaan kasus, dan revitalisasi fungsi Puskesmas dalam pelayanan IMS.






j. Penyediaan darah dan produk darah yang aman


Sistem Screening darah berjalan di semua Unit Transfusi darah sesuai protap pada semua Palang Merah dan Rumah Sakit yang memiliki UTD (Unit Transfusi Darah) dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam meloloskan darah. Menghindarkan terjadinya pendonor langsung yang tidak melalui sistem screening.






k. Peningkatan kewaspadaan universal


Kewaspadaan Universal diterapkan pada semua unit pelayanan kesehatan secara benar, terutama pada tindakan medik dan keperawatan yang rentan terpapar dan bagi petugas petugas kesehatan, polisi, tenaga sosial, dan tenaga pemulasaraan jenazah.


Tersediannya sarana dan prasarana kewaspadaan universal yang cukup dan mudah diakses oleh petugas pada semua layanan kesehatan.






2. AREA PERAWATAN, PENGOBATAN DAN DUKUNGAN KEPADA ODHA


Peningkatan jumlah kasus AIDS, faktor geografis dan demografis yang menyebabkan layanan begitu luas. Kemampuan dan jumlah SDM yang terbatas merupakan tantangan yang harus dijawab oleh sarana pelayanan kesehatan untuk ODHA. Oleh karenanya diperlukan upaya peningkatan jumlah dan mutu layanan yang optimal dalam memberikan pelayanan perawatan, pengobatan dan dukungan.


Rumah Sakit Rujukan HIV AIDS yang ditetapkan mempunyai kemampuan untuk penatalaksanaan kasus secara komprehensif dengan memberdayakan ODHA dan OHIDA, memberikan pelayanan yang manusiawi tanpa diskriminasi dan penyediaan sarana dan prasarana penunjang seperti: laboratorium, BAKHP, reagensia, dan obat-obatan.


2.1. Tujuan


Pencegahan penularan lebih lanjut infeksi HIV serta meningkatkan kualitas hidup ODHA.






2.2. Program


a. Peningkatan sarana pelayanan HIV AIDS


Peningkatan akses masyarakat dan kelompok berisiko dengan pelayanan yang bermutu dan manusiawi. Rumah sakit rujukan memiliki pelayanan komprehensif yang meliputi semua jenis program layanan yang dapat diakses, yaitu : VCT, CST, PMTCT, Laboratorium, ARV dan lain-lain.


Program yang terkait dengan peningkatan asupan gizi, olahraga, pemberian vitamin serta program psikologis merupakan upaya yang mampu meningkatkan kualitas hidup ODHA.






b. Peningkatan penyediaan, distribusi obat, regensia dan diagnostik penunjang


Singkronisasi manajemen pengelolaan obat antara Pusat dan provinsi dalam rangka mengantispasi kekosongan dan keterlambatan persediaan, khususnya ARV. Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan mengupayakan ketersediaan ARV sebagai buffer stock, obat-obatan Infeksi Opurtunistik, reagensia dan sarana Diagnostik Penunjang.


Upaya perbaikan mekanisme rujukan antar sarana pelayanan kesehatan baik rujukan, satelit maupun sarana lainnya untuk meningkatkan akses layanan yang bemutu.






c. Pendidikan dan Pelatihan


Peningkatan pengetahuan dan keterampilan bagi provider di sarana pelayanan kesehatan terus ditingkatakan, khususnya dalam pelayanan VCT, CST, PMTCT, Laboratorium, Manajemen Kasus, dan Pengelolaan Logistik.


Upaya pendidikan dan pelatihan dilakukan secara berkelanjutan dan berkualitas, dimulai rekruiment petugas yang tepat berdasarkan kompetensi dan bidang kerja, perbaikan mutu dan peningkatan frekuensi pelatihan.






d. Pendampingan dan dukungan terhadap ODHA


Program pendampingan dan dukungan dilakukan secara aktif dan melibatkan peran serta kelompok-kelompok dukungan sebaya, kelompok orang yang terinfeksi HIV, OHIDHA maupun LSM Peduli HIV dan AIDS. Menempatkan ODHA sebagai pelaku utama pada program ini sangat bermanfaat untuk mencapai tujuan pendampingan, disamping itu akan memicu kemandirian dan pemberdayaan ODHA dalam arti yang sebenarnya.


Keberhasilan program pengobatan sangat dipengaruhi oleh program pendampingan dan dukungan yang diberikan kepada orang dengan HIV dan AIDS.






e. Perlindungan, Perawatan dan Dukungan pada Anak yang Berisiko


Prevalensi HIV dan AIDS pada perempuan dengan usia yang masih produktif cukup tinggi di Kalimantan Selatan. Program kedepannya harus mengakomodir program yang nyata pada anak yang beresiko. Karakteristik anak yang unik memerlukan pola pendekatan yang berbeda dan spesifik, muatan-muatan psikologis lebih dominan ditonjolkan disamping menjamin adanya ketersediaan sarana dan prasarana untuk perawatan dan pengobatan bagi anak.






3. AREA SURVEILANS HIV DAN AIDS SERTA IMS


Pemantauan terhadap kecenderungan pola penyebaran dan faktor resiko dengan mempertimbangkan aspek manusia, waktu dan tempat dilakukan secara terus menerus dan periodik. Setiap upaya pemantauan menghasilkan dokumen pencatatan dan pelaporan berdasarkan format baku yang telah disepakati secara nasional.


Kegiatan survailans diharapkan menyediakan data dan informasi yang valid dan up to date sebagai bahan untuk menyusun perencanaan tindak lanjut dan program yang akan dilaksanakan. Upaya ini menjamin sebuah siklus pengumpulan, pengolahan, analisa, diseminasi data dan informasi yang akan digunakan oleh pemangku kepentingan untuk mengambil keputusan dan kebijakan.


3.1. Tujuan


Memperoleh data dan informasi yang valid tentang besaran, kecenderungan dan distribusi penyebaran HIV dan AIDS serta factor-faktor yang mempengaruhinya.






3.2. Program


a. Peningkatan survailans HIV


Surveilan HIV dilaksanakan secara berkala minimal sekali dalam setahun terhadap sub-populasi berisiko. Peningkatan cakupan wilayah dan kelompok sasaran dilakukan agar informasi yang didapatkan benar-benar menggambarakan situasi epidemik yang sebenarnya terjadi.






b. Peningkatan survailans perilaku


Terutama untuk menapatkan gambaran mengenai perilaku seksual dan NAPZA di populasi umum khususnya populasi strategis seperti generasi muda yang diwakili oleh pelajar tingkat pertama dan menengah serta mahasiswa. Pengembangan metode yang tepat diperlukan untuk mengali data dan informasi yang valid dan mencerminkan situasi perilaku pada masa tertentu. Pelaksanaan Surveilans disesuaikan dengan kecendrungan-kecendrungan perubahan perilaku dan waktu.






c. Peningkatan survaillans IMS


Pelaksanaan Surveilans IMS menjadi kegiatan yang tidak terpisahkan dengan surveilans HIV, kecendrungan sasaran yang sama memungkinkan kedua kegiatan dilakukan secara bersamaan.


Puskesmas dapat dikembangkan untuk melakukan kegiatan pemantauan IMS secara berkala di wilayah kerjanya, khususnya bagi Puskesmas yang diwilayah kerjanya terdapat Hot Spot perilaku beresiko.






d. Peningkatan kapasitas laboratorum IMS dan HIV


Ketersediaan sarana dan prasarana penunjang seperti reagen dan alat diagnostik diupayakan untuk mengantisipasi peningkatan kasus IMS dan HIV.


Diperlukan peningkatan kemampuan SDM dan jangkauan pelayanan, khususnya bagi kabupaten/Kota yang minim sarana dan prasarana.






e. Peningkatan mutu laporan


Pembakuan format pelaporan yang disepakati dan dilaksanakan oleh petugas surveilans pada semua tingkatan.


Perbaikan mekanisme pelaporan secara berjenjang dan tepat dari aspek isi laporan dan waktu pengiriman laporan.


Upaya pengumpulan, pengolahan, analisa dan diseminasi dilakukan mulai pada tingkat kabupaten, propinsi dan pusat.


















4. AREA KESINAMBUNGAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS


Masalah HIV dan AIDS bukan hanya masalah kesehatan semata, tapi merupakan sebuah persoalan sosial yang sangat luas dan kompleks, oleh karenanya pendekatan untuk program pencegahan dan penanggulangannya juga mesti melibatkan berbagai pihak dan sektor yang terkait. Pemerintah, swasta dan masyarakat sipil dengan berbagai komponennya merupakan pelaku utama dalam program ini, namun disadari bahwa peran masyarakatlah yang menjadi titik tumpuh utama dari implementasi program penanggulangan HIV dan AIDS.


Mengingat banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan adanya spesifikasi peran dari masing-masing sektor mengakibatkan perlunya koordinasi serta harmonisasi dari tiap sektor untuk menjamin keberlangsungan program secara keseluruhan. Apabila salah satu sektor tidak berperan dengan baik akan berdampak pada lemahnya sistem penanggulangan HIV dan AIDS.


Kesinambungan penanggulangan HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan sangat dipengaruhi oleh adanya political will dan komitmen pengambil kebijakan, kepemimpinan yang kuat, pembiayaan yang tersedia terus menerus, komitmen pelaksana program serta kepedulian dan keterlibatan semua unsur masyarakat.


4.1. Tujuan


Menjamin kelangsungan upaya pencegahan penanggulangan HIV dan AIDS pada setiap tingkatan administrasi melalui komitmen yang tinggi, kepemimpinan yang kuat, didukung oleh informasi dan sumberdaya yang memadai.


















4.2. Program


a. Advokasi


Program advokasi dilaksanakan secara terencana, terpadu dan terus menerus. Dimaksudkan untuk mendapatkan dukungan pengambil kebijakan di tingkat provinsi dan Kab/Kota se-Kalimantan Selatan. Keberhasilan advokasi akan menjamin keberlangsungan program dan dukungan anggaran yang berkesinambungan.


Pelaksanaan advokasi tentunya mempertimbangkan sejumlah faktor seperti kondisi masing-masing daerah, peta kekuasaan dan kecenderungannya, dan model kepemimpinan para pengambil kebijakan serta situasi kultur politik di masing-masing daerah.






b. Regulasi atau Perundang-undangan


Dilakukan melalui pembuatan produk hukum untuk mengayomi dan menjadi bingkai pelaksanaan program agar berjalan secara bertanggung jawab, terus menerus dan didukung terutama oleh pengambil kebijakan.


Penyusunan Renstra, Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota sampai kepada Perda Penanggulangan HIV dan AIDS sangat penting bagi kesinambungan penanggulangan. Regulasi yang dibuat pada tingkat provinsi dapat mengakomodir kekhasan dan potensi tiap-tiap daerah.






c. Peningkatan Jumlah dan Kualitas SDM


Dilakukan melalui upaya pendidikan dan pelatihan, on the job training dan pemagangan tenaga dan provider ke institusi yang layak menjadi model penanggulangan yang baik. Pemilihan orang-orang yang tepat untuk dilatih sangat penting agar SDM yang dihasilkan dapat berhasil guna. Disamping itu penyebaran tenaga terlatih dilakukan secara proporsional pada semua wilayah dan institusi pelayanan.






d. Peningkatan sarana dan prasarana


Peningkatan kualitas dan jumlah sarana dan prasarana pelayanan HIV dan AIDS serta kemudahan akses bagi masyarakat yang membutuhkan. Upaya mempertahankan mutu sarana melalui pemeliharaan yang baik.






e. Mobilisasi sumberdaya


Identifkasi dan upaya penggalangan sumber daya dilakukan dengan melibatkan semua sektor secara aktif. Dalam rangka kesinambungan penanggulangan HIV dan AIDS perlu dibuat perencanaan, kebijakan dan mekanisme mobilisasi sumber daya, baik manusia, sarana dan anggaran.


Mobilisasi sumber daya dimaksudkan untuk menggali dan memberdayakan potensi-potensi yang ada diberbagai sektor (Pemerintah, Swasta, Perusahaan, Masyarakat, dan Donor Internasional)






















































BAB IV


PENYELENGGARA UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS










1. PEMERINTAH PROVINSI


Dinas-dinas provinsi, kantor wilayah dari instansi pusat di provinsi, komando TNI dan POLRI di provinsi menyelenggarakan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS dipimpin oleh Gubernur. Pemerintah provinsi memfungsikan KPA Provinsi dan menyediakan sumberdaya untuk kegiatan pencegahan dan penanggulangan di provinsi.






2. PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA


Dinas-dinas kabupaten/kota, kantor departemen dari instansi pusat di kabupaten/kota, komando TNI dan POLRI di kabupaten/kota menyelenggarakan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS yang dipimpin oleh Bupati/Walikota. Pemerintah kabupaten/kota membentuk dan mengfungsikan KPA Kabupaten/Kota dan menyediakan sumberdaya untuk kegiatan pencegahan dan penanggulangan di Kabupaten/Kota.






3. PEMERINTAH KECAMATAN DAN KELURAHAN/DESA


Di wilayah kecamatan dan kelurahan yang berpotensi adanya penularan HIV maka dapat dibentuk “Satuan Tugas Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS yang dipimpin oleh Camat dan Lurah/Kepala Desa. Tugas utamanya adalah menggerakkan masyarakat untuk ikut serta dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS yang dirancang oleh KPA Kabupaten/Kota.






4. DPRD PROVINSI DAN DPRD KABUPATEN/KOTA


DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan kepedulian yang tinggi menampung informasi dari masyarakat tentang situasi HIV dan AIDS di wilayah jurisdiksinya dan sesuai dengan tugas dan fungsinya membantu upaya pencegahan dan penanggulangan. Bersama KPA Provinsi dan KPA Kabupaten/Kota dapat membentuk “Forum Komunikasi”.






5. KPA PROVINSI DAN KABUPATEN


KPA Provinsi dan KPA Kabupaten/Kota dapat dibentuk dan dipimpin masing-masing oleh Gubernur dan Bupati/Walikota. KPA Provinsi dan KPA Kabupaten/Kota di Kalimantan Selatan membantu kelancaran pelaksanaan tugas KPA Nasional.


Tugas pokok dan fungsi KPA Propinsi dan Kabupaten/Kota, adalah :


5.1. Merumuskan kebijakan, strategi dan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di wilayah Kalimantan Selatan sesuai dengan kebijakan, strategi dan pedoman yang ditetapkan oleh KPA Nasional. Implementasi dari tugas pokok tersebut meliputi fungsi-fungsi sebagai berikut:


1) Memimpin, mengelola dan mengkoordinasikan kegiatan pencegahan, pengendalian dan penanggulangan HIV dan AIDS di wilayah Kalimantan Selatan.


2) Menghimpun, menggerakkan dan memanfaatkan sumberdaya yang berasal dari pusat, daerah, masyarakat dan bantuan luar negeri secara efektif dan efisien.


5.2. Melakukan bimbingan dan pembinaan kepada pemangku kepentingan dalam pencegahan, pengendalian dan penanggulangan HIV dan AIDS di wilayah Kalimantan Selatan.


5.3. Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS dan menyampaikan laporan secara berkala dan berjenjang.






6. MASYARAKAT SIPIL


6.1. Lembaga Swadaya Masyarakat


LSM dan Organisasi Non-Pemerintah lainnya seperti kelompok dukungan sebaya mempunyai peranan penting dan kontribusi yang besar terhadap kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, karena mampu menjangkau sub populasi berperilaku beresiko dan menjadi pendamping dalam proses perawatan dan pengobatan.






6.2. Dunia Usaha dan Sektor Swasta


Jenis pekerjaan, lingkungan dan tempat kerja berpotensi bagi pekerja untuk terinfeksi HIV. Organisai Perburuhan Internasional (ILO) mengakui bahwa HIV dan AIDS sebagai persoalan dunia. Oleh karena itu, prinsip utama kaidah ILO tentang HIV dan AIDS perlu diimplementasikan di dunia kerja di Indonesia melalui kesepakatan TRIPARTIT. Implementasi kaidah ILO tersebut dijabarkan dalam program penanggulangan HIV dan AIDS di dunia kerja dan dilaksanakan dengan bersungguh-sungguh.










6.3. Tenaga Profesional, Organisasi Profesi dan Lembaga Pendidikan Tinggi


Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS memerlukan pelibatan tenaga profesional, baik secara individu maupun melalui organisasi profesi dan lembaga pendidikan tinggi. Para professional berperan dalam perumusan kebijakan, penelitian, dan riset operasional.






6.4. Lembaga Kemasyarakatan


Lembaga kemasyarakat seperti PKK, Karang Taruna, Pramuka, Organisasi Keagamaan, Kelompok Kesenian, dan lain sebagainya mempunyai peran yang penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Peran tersebut dalam komunikasi publik, menerima dan selanjutnya menyampaikan informasi dengan benar dan tepat ke masyarakat umum.






6.5. Masyarakat Umum dan Keluarga


Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS memerlukan dukungan masyarakat luas. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat mempunyai tugas yang penting dan sangat mulia sebagai benteng dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan.


Masyarakat umum berperan aktiv dalam membantu upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di lingkungan masing-masing dengan memberikan kemudahan dan menciptakan lingkungan yang kondusif.














6.6. Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) dan OHIDHA


Peran ODHA dan OHIDHA mempunyai peran yang sangat strategis dan penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Selaras dengan prinsip Greater Involvement of Propel with AIDS (GIPA) ODHA berhak berperan pada semua tingkat proses pencegahan dan penanggulangan mulai dari tingkat perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi sampai pada perumusan kebijakan.






























































BAB V


KERJASAMA INTERNASIONAL, PELAKSANAAN RENSTRA


DAN PENDANAAN






1. KERJASAMA INTERNASIONAL


KPA Provinsi Kalimantan Selatan dengan difasilitasi KPA Nasional bermitra dengan berbagai pihak donor internasional, baik melalui kerjaasama bilateral maupun multilateral sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Bantuan-bantuan tersebut diharapkan dapat bermakna diantaranya untuk meningkatkan kelembagaan KPA di Provinsi dan Kabupaten/Kota; program pencegahan HIV dan AIDS; pengobatan, perawatan dan pemberdayaan ODHA dan OHIDHA; program pengurangan dampak buruk di kalangan penasun. Bantuan mitra internasional diperlukan untuk mendukung kegiatan prioritas HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan untuk tahun 2009 – 2014.


KPA Provinsi dengan difasilitasi KPA Nasional diharapkan akan menuju harmonisasi dan koordinasi di antara mitra lembaga donor internasional dan sektor pemerintah pada level nasional. Sementara KPA Provinsi, akan memfasilitasi menuju harmonisasi dan koordinasi di antara mitra, sektor pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya (masyarakat, dunia usaha, dan LSM). Hal ini bertujuan agar bantuan yang diperlukan dapat tersedia dan dapat memenuhi kebutuhan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah.


















2. PELAKSANAAN RENSTRA


RENSTRA KPA Provinsi Kalimantan Selatan dilaksanakan sejalan dengan pembangunan di daerah Kalimantan Selatan. Pelaksanaan tersebut harus berjalan konsisten dengan tujuan-tujuan kebijakan yang ingin dicapai, serta ditujukan untuk merespon situasi dan kondisi HIV dan AIDS di daerah. RENSTRA KPA Provinsi Kalimantan Selatan merupakan dokumen yang bersifat terbuka sehingga dapat mengalami perubahan atas dasar kebutuhan yang terjadi dikemudian hari.


Rencana kerja yang dibuat oleh KPA Provinsi Kalimantan Selatan lebih lanjut akan disosialisasikan kepada instansi dan pemangku kepentingan pada level propinsi dan kabupaten/kota sebagai bahan rujukan untuk membuat rencana kerja.






3. PENDANAAN


Sejak ditemukan pertama kali kasus HIV di Kalimantan Selatan pada tahun 2002, kecenderungan orang yang terinfeksi HIV semakin meningkat dalam setiap tahunnya. Keadaan ini lebih disebabkan karena semakin meningkatnya perilaku berisiko dengan pemahaman yang masih lemah untuk menghindari HIV dan AIDS. Sejalan dengan semakin meningkatnya penularan HIV, program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS juga semakin beragam dengan cakupan yang semakin luas. Maka untuk mencapai tujuan program yang sudah diupayakan tersebut diperlukan dana yang tidak sedikit.


Dana untuk merealisasi program dalam RENSTRA KPA Provinsi Kalimantan Selatan sesuai dengan Peraturan Presiden, Nomor : 75 tahun 2006 bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sumber lain. Sumber lain dimaksud termasuk dana dari swasta, masyarakat dan bantuan internasional.


Pelibatan masyarakat dan dunia usaha untuk membantu pendanaan dalam program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan melalui kegiatan-kegiatan mobilisasi dana di bawah koordinasi KPA diberbagai tingkatan. Bantuan internasional dalam bentuk hibah dan bantuan teknis untuk meningkatkan upaya yang tidak diartikan sebagai pengganti dana yang bersumber dari APBN dan APBD.


Pengelolaan dana menganut prinsip tranparansi, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas dan harmoni. KPA Propinsi Kalimantan Selatan mengkoordinasikan mobilisasi dan penggunaan dana untuk menjamin tidak terjadinya pemborosan dana dan terpenuhinya prinsip tersebut dengan bimbingan KPA Nasional.






























































BAB VI


MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN


Secara subtansial, tujuan utama monitoring dan evaluasi adalah untuk menjamin bahwa program mencapai tingkat efesiensi dan akuntabilitas yang tinggi; membantu sinergikan dan pelaksanaan program; memungkinkan tindakan korektif untuk mengarahkan program; dan menghasilkan informasi yang berguna bagi pelaksanaan program serta sebagai masukan untuk penyusunan program lanjutan.


Monitoring akan dilakukan secara berkala saat program sedang berjalan di lapangan dan evaluasi di lakukan pada akhir tahun program untuk mengetahui proses, out put dan impact langsung maupun dampak tidak langsung dari pelaksanaan program. Hasil monitoring dan evaluasi ini akan dilaporkan secara berjenjang sesuai dengan Peraturan Presiden, Nomor : 75 Tahun 2006 untuk bahan menindak-lanjuti terhadap apa yang sudah terjadi di lapangan dan apa yang akan dilakukan kedepannya.


Monitoring, evaluasi, dan pelaporan program HIV dan AIDS secara nasional telah dirumuskan dan diterbitkan tahun 2006. Pedoman dibuat sesederhana mungkin dan mudah digunakan sehingga dapat membantu KPA pada setiap jenjang. Oleh karena itu, untuk memahami subtansial dan cara pengisian laporan, perlu dilakukan pelatihan dan assistensi kepada semua pihak yang mengelola program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di semua jenjang.


Harus dimaklumi bahwa untuk merumuskan dan kemudian melaksanakan program besar yang sudah dibingkai dalam RENSTRA KPA Provinsi tidak seperti membalik telapak tangan, karena : kompleksitas masalah yang dihadapi yang dapat berubah setiap saat dalam waktu yang cepat dan merealisasikan dalam kegiatan sangat memerlukan dukungan sumber daya (manusia dan finansial). Akan tetapi, dengan kepemimpinan yang berkomitmen kuat, konsisten dan berbekal pengalaman dalam memecahkan masalah besar, maka upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan akan menuai hasil yang diharapkan.


BAB VI


P E N U T U P






Perumusan Rencana Strategi (RENSTRA) KPA Provinsi Kalimantan Selatan merupakan bukti awal dari adanya respon positif pemerintah dan masyarakat sipil menghadapi penyebaran epidemi HIV dan AIDS di daerah ini yang semakin meningkat. Bukti awal tersebut secara periodik harus mampu diimplementasikan dalam kegiatan-kegiatan di lapangan. Melalui adanya RENSTRA ini, dapat menjadi inspirasi untuk dikembangkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS secara komprehensif, berkesinambungan, sinergi, harmonis dan dinamis.


Memang harus disadari bahwa untuk menterjemahkan RENSTRA KPA Provinsi Kalimantan Selatan dalam bentuk kegiatan-kegiatan praktis dan mengenai sasaran tidaklah mudah, karena pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS menghadapi kompleksitas yang besar di mana dapat berubah dengan cepat dan dalam waktu yang singkat. Karenanya diperlukan dukungan yang besar dari seluruh lapisan masyarakat.


Sebagai harapan yang sangat besar dengan di bawah kepemimpinan yang mempunyai kemauan politik, komitmen yang tinggi yang diterapkan secara konsisten, tentu tidak ada masalah yang tidak dapat dipecahkan.


Semoga !

0 komentar:

Posting Komentar