RENSTRA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
KPA PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
TAHUN 2009 – 20013
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
LATAR
BELAKANG
Acquired
Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan
gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang
mudah menular. Virus HIV tersebut akan merusak sistem kekebalan tubuh manusia
yang mengakibatkan turun atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga memudahkan seseorang
terjangkit dan meninggal karena infeksi, kanker, dan lain-lain.
Sampai
saat ini masih belum ditemukan vaksin untuk pencegahannya sedangkan pengobatan
yang ada sekarang hanya untuk menghambat perkembangan virus dalam darah.
Penyebaran virus ini dimulai sejak seseorang terinfeksi, meskipun tidak ada
tanda-tanda yang nyata secara fisik karena tampak masih sehat. Virus ini dapat
menyebar melalui cairan darah, cairan
sperma, cairan vagina, dan air susu ibu yang terinfeksi virus HIV dengan
berbagai media.
Semua
cara penularan HIV tersebut berkaitan erat dengan perilaku seseorang. Perilaku
yang dimaksud adalah seperti hubungan seks yang tidak aman, pemakaian jarum
suntik bergantian, transfusi darah, dan lain sebagainya,. Oleh karena itu,
diperlukan identifikasi perilaku berisiko pada berbagai kelompok sasaran dengan
baik untuk upaya intervensi pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.
Di
Kalimantan Selatan sendiri sampai dengan Desember 2008 telah ditemukan sebanyak
83 kasus HIV positif dan 29 kasus AIDS. Dari tahun ke tahun diketahui adanya
peningkatan kasus HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan. Kondisi yang demikian itu
memerlukan kewaspadaan dan komitmen yang kuat dari semua pihak dengan ditunjang
kepemimpinan yang konsisten dalam bentuk gerakan pencegahan dan penanggulangan
HIV dan AIDS yang terfokus dan terkoordinasi antara lintas sektor di Kalimantan
Selatan.
2.
ANALISA
SITUASI
2.1.
Analisa
Situasi
Secara
umum Provinsi Kalimantan Selatan berpenduduk
3.396.680 jiwa (laki-laki 1.700.790 jiwa dan perempuan 1.695.890 jiwa) yang tersebar
di 13 Kabupaten/Kota, 134 Kecamatan, 119 kelurahan, 93 desa. Secara geografis, luas
Kalimantan Selatan adalah 38.742,55 km2 (SK Gubernur, Nomor : 0337 tahun 2006, tanggal 17 Juli 2006).
Provinsi Kalimantan Selatan secara tata letak berbatasan dengan :
a.
Sebelah Utara, Provinsi
Kalimantan Timur
b.
Sebelah Selatan, Laut Jawa
c.
Sebelah Barat, Provinsi
Kalimantan Tengah
d.
Sebelah Timur, Selatan
Makasar
Kasus
HIV dan AIDS diketemukan pertama kali tahun
2002 setelah melakukan survilans terhadap 763 orang resiko tinggi, ternyata 4 di
antaranya positif HIV. Kasus ini dari tahun ke tahun semakin meningkat,
sehingga sampai dengan Desember 2008 ini, secara komulatif HIV sebanyak 83
kasus dan AIDS sebanyak 29 kasus. Ke 29 kasus AIDS tersebut terinfeksi dari
hubungan seksual sebanyak 18 kasus dan IDU sebanyak 11 kasus, di mana dari
kasus AIDS tersebut 10 orang di antaranya telah meninggal dan 19 lainnya masih
hidup.
Perkembangan
kasus HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan, dapat dilihat pada grafik di bawah
ini :
Terjadinya
kasus HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan, lebih dikarenakan letak geografisnya
yang strategis dan mudah diakses dengan mobilitas penduduk yang tinngi,
terutama daerah yang mempunyai prevalensi HIV dan AIDS yang tinggi. Maraknya industri dan pertambangan yang
kadang dibarengi dengan munculnya perilaku beresiko terhadap HIV dan AIDS serta
terjadi perubahan pola budaya yang permisif terhadap perilaku seks tidak aman
dan penggunaan NAPZA, khususnya NAPZA suntik.
Dengan
adanya penemuan kasus HIV dan AIDS di atas, maka dibentuklah Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan SK Gubernur,
Nomor : 188.44/0329/KUM/2007. Dengan merujuk PERPRES, Nomor : 75 tahun 2006 KPA
Provinsi Kalimantan Selatan mempunyai tugas untuk merumuskan kebijakan,
strategi dan langkah-langkah yang diperlukan untuk menanggulangi AIDS di
Kalimantan Selatan, sesuai dengan kebijakan, strategi dan pedoman yang sudah ditetapkan
oleh KPA Nasional. Sampai saat ini baru 2 Kabupaten/Kota yang terbentuk, namun
direncanakan pada tahun 2009 semua Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan
Selatan telah membentuk KPA.
KPA
secara kelembagaan berperan dan terlibat langsung dalam Pencegahan dan
Penanggulangan HIV dan AIDS, namun fungsi tersebut masih di rasa belum optimal
disebabkan oleh sejumlah faktor yaitu status dan kedudukan KPA masih belum
dipahami secara menyeluruh; kelompok kerja masih belum terbentuk sesuai dengan
kebutuhan; kegiatan sekretariat KPA masih terbatas pada kegiatan pertemuan
lintas sektor; pertemuan untuk penjangkauan populasi kunci; melakukan kegiatan
surveilans, pertemuan pengurus dan koordinasi, sosialisasi kepada pengambil
kebijakan, supervisi dan monitoring, dan peringatan hari AIDS se Dunia.
Rendahna
tingkat Pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap HIV dan AIDS menyebabkan terjadinya stigma dan diksriminasi
terhadap ODHA yang selanjutnya akan berdampak terhadap pelaksanaan kegiatan HIV
dan AIDS secara umum, bahkan sampai sekarang masih berkembang polemik terhadap program
penggunaan kondom sebagai upaya pencegahan penularan HIV dan AIDS.
Berikut
ini gambaran kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlatih dalam pelayanan
HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan sampai dengan Desember 2008:
Nomor
|
JENIS PELATIHAN
|
JUMLAH
|
JUMLAH
|
|
Kab/Kota
|
Provinsi
|
|||
1
|
Voluntary Counselling Test
|
26 orang
|
15 orang
|
41 orang
|
2
|
Care Support Treatment
|
28 orang
|
22 orang
|
50 orang
|
3
|
Laboratorium
|
0 orang
|
2 orang
|
2 orang
|
4
|
Survilans
|
20 orang
|
6 orang
|
26 orang
|
5
|
Infeksi Menular Seksual
|
26 orang
|
5 orang
|
31 orang
|
6
|
Harm Reduction
|
4 orang
|
8 orang
|
12 orang
|
Sumber
: DINKES Prop. Kalsel, 2008
Gambaran
daftar Rumah Sakit dan fasilitas kesehatan rujukan HIV dan AIDS di Kalimantan
Selatan adalah sebagai berikut :
No
|
INSTITUSI
|
KEMAMPUAN
|
|||||||||
VCT
|
IO
|
CST
|
RAPID
|
ELISA
|
CD4
|
WB
|
RJK
|
ARV
|
|||
1
|
RSU Ulin
|
=
|
=
|
=
|
=
|
=
|
|
|
=
|
=
|
|
2
|
RS Anshari Saleh
|
=
|
=
|
=
|
=
|
|
|
|
=
|
=
|
|
3
|
RS Pembalah Batung
|
=
|
|
=
|
|
|
|
|
=
|
|
|
4
|
RS Kotabaru
|
=
|
|
=
|
|
|
|
|
=
|
|
|
5
|
Labkesda
|
|
|
|
=
|
=
|
|
|
|
|
|
4
|
Lab. Panasea, Prodia, dr. Tony
|
|
|
|
=
|
=
|
=
|
=
|
|
|
|
Sumber : DINKES Propinsi Kalsel, 2008
Meskipun
demikian, sebagian dari sarana pelayanan di atas masih belum ditunjang oleh mekanisme
dan prosedur tetap dan baku
yang berorientasi pada pelayanan komprehensif pada klien. Keadaan ini disebabkan
oleh kurangnya rasa tanggungjawab moral terhadap ilmu yang dimilikinya. Selain
itu masih banyak ditemukan penempatan dan pemanfaatan tenaga terlatih yang bukan
pada bidang kompetensinya.
Peran
sektor masyarakat sipil, khususnya pada sebagian Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) di Kalimantan Selatan dapat dilihat dalam berbagai kegiatan dan aktivitas
pada wilayah hotspot tertentu dengan bentuk kegiatan seperti KIE (Komunikasi,
Informasi, dan Edukasi) untuk masyarakat umum, KIE dalam bentuk penjangkauan
dan pendampingan pada kelompok resiko tinggi (PSK perempuan), pelatihan
pendidik sebaya, konseling, kampanye kondom 100 persen, screening IMS, VCT dan
pelayanan rujukan, koordinasi dengan stakeholder, provider dan IMS, dan peringatan moment penting (malam renungan AIDS dan hari
AIDS se Dunia). Meskipun sudah melakukan sejumlah kegiatan namun KPA Provinsi
dan LSM di Kalimantan Selatan masih belum ada yang menjangkau dan mendampingi
kelompok resiko tinggi lainnya secara intensif lelaki seks lelaki, kelompok
waria, OHIDHA, dan bayi yang terinfeksi HIV.
2.2. Kecenderungan Masa Depan
a.
Kecenderungan
Kelompok Beresiko
Estimasi
jumlah WPS (Wanita Pekerja Seks), Penasun (Pengguna Napza Suntik), klien
(tamu), dan estimasi lelaki seks dengan lelaki (LSL) digambarkan sebagaimana tabel di
bawah ini :
No
|
KAB/KOTA
|
PENASUN
|
WBP*
|
WPS
|
TAMU
|
LSL
|
WARIA
|
1
|
|
2.730
|
990
|
500
|
5.470
|
2.800
|
130
|
2
|
Tanah Bumbu
|
1.000
|
|
390
|
5.760
|
280
|
110
|
3
|
Tabalong
|
840
|
140
|
70
|
990
|
230
|
10
|
4
|
Banjar
|
470
|
455
|
120
|
1.900
|
660
|
10
|
5
|
|
300
|
388
|
300
|
2.560
|
720
|
20
|
6
|
Tanah Laut
|
290
|
163
|
70
|
1.060
|
320
|
10
|
7
|
HSU
|
210
|
286
|
|
|
240
|
80
|
8
|
HST
|
260
|
67
|
|
|
280
|
|
9
|
HSS
|
220
|
103
|
|
|
240
|
|
10
|
Tapin
|
50
|
82
|
50
|
650
|
200
|
10
|
11
|
Barito Kuala
|
30
|
87
|
|
70
|
320
|
|
12
|
Banjarbaru
|
110
|
|
180
|
2.720
|
180
|
80
|
13
|
Balangan
|
110
|
|
120
|
40
|
120
|
|
Sumber : DEPKUMHAM Kalsel, 2008
WBP* kasus NARKOBA sebanyak 609 orang
(laki, 344 orang dan perempuan, 65 orang), kasus Non NARKOBA sebanyak 1.003
orang (laki, 1.500 dan perempuan, 13 orang).
b.
Kecenderungan
Respons
Peraturan
Presiden RI, Nomor: 75 Tahun 2006 mengamanatkan perlunya peningkatan upaya
penanggulangan HIV Dan AIDS di seluruh Indonesia . Oleh karena itu, respon
ditujukan untuk meminimalisir semaksimal mungkin peningkatan kasus baru dan
kematian.
Cara
yang strategis dan meyakinkan untuk menumbuhkan respon masyarakat terhadap HIV
dan AIDS adalah dengan memperkuat dan mensosialisasikan urgensi dan peran penting
Komisi Penanggulangan AIDS pada semua tingkat. Diharapkan anggaran pemerintah
dalam Penanggulangan AIDS akan meningkat sejalan kompleksitas masalah yang
dihadapi.
Masyarakat
sipil, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pengusaha, tokoh agama dan tokoh
masyarakat diharapkan dapat meningkatkan
perannya sebagai mitra pemerintah dalam penanggulangan HIV dan AIDS sampai pada
tingkat terkecil dengan tidak melihat latar belakangnya dari mana seseorang itu
berasal.
Seandainya
tidak ada respon dan intervensi yang komprehensif dari seluruh lapisan masyarakat
terhadap HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan, maka yang akan terjadi adalah
seperti dalam tabel simulasi di bawah ini :
Sumber : SIMULASI Propinsi
Kalimantan Selatan
3.
DAMPAK
SOSIAL DAN EKONOMI
3.1.
Dampak
terhadap Demografi dan Akibatnya
Kecenderungan
pola penyebaran epidemi HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan terjadi pada orang
yang rata-rata berumur 20 – 30 tahun, tentu ini akan berdampak terhadap
indikator demografi. Lebih jauh, tingginya kelompok umur yang produktif yang terinfeksi virus dapat berdampak pada terganggunya pola
kontribusi ekonomi; pola regenerasi; fungsi reproduksi; dan ketenagakerjaan juga
akan mengalami degradasi yang cukup signifikan.
3.2.
Dampak
terhadap Sistem Pelayanan Kesehatan
Cepatnya
penyebaran HIV dan AIDS pada kelompok berisiko maka akan semakin banyak pula orang
yang menjadi sakit dan membutuhkan jasa pelayanan kesehatan. Sebagai
konsekuensi yang harus dilakukan oleh penyelenggara jasa pelayanan kesehatan terhadap
semakin banyaknya orang yang menjadi sakit itu maka dilakukanlah sejumlah hal
seperti ketersediaan tenaga medis dan non medis yang terampil dan peduli;
kejelasan tempat yang mudah diakses; kepastian harga dan waktu pelayanan;
jaminan pelayanan; dan kesiapan sarana dan prasarana.
Sementara
itu, pada sisi lain perkembangan dari penyakit yang lamban dari orang yang
terinfeksi HIV tentu akan membutuhkan perawatan kesehatan yang panjang. Oleh
karena itu, dibutuhkan waktu panjang untuk mendampingi dan bagi yang
mendampingi tersebut maka yang bersangkutan tidak dapat melakukan kegiatan
produktif yang lainnya. Waktu dan sumberdaya yang diberikan untuk mendampingi
dan merawat pasien HIV dan AIDS akan mempengaruhi terhadap pengembangan dan
pelaksanaan program lainnya dan menghabiskan sumber daya untuk kegiatan
kesehatan lainnya.
3.3.
Dampak
terhadap Ekonomi
Penderita
HIV dan AIDS secara nasional maupun di Kalimantan Selatan berasal dari kalangan
usia muda dan terhitung masih produktif, epidemi HIV dan AIDS akan mempunyai
dampak pada ketersediaan dan produkfitas angkatan kerja.
Seseorang
yang terinfeksi HIV dan AIDS akan memerlukan perawatan yang cukup panjang dan
memerlukan biaya yang tidak sedikit, tentu akan membawa pengaruh terhadap
ekonomi keluarga, dan bukan tidak mungkin akan mengakibatkan kemiskinan akibat
ketidakseimbangan ekonomi tersebut.
HIV
dan AIDS juga mempunyai peran dalam mengurangi motivasi pekerja yang terinfeksi
(takut akan diskriminasi, kehilangan rekan kerja, rasa khawatir yang
berkepanjangan), sehingga akan mengurangi ketidakhadiran karena izin sakit,
percepatan masa penggantian pekerja karena kehilangan pekerja professional,
menurunnya produktifitas dan bertambahnya investasi. Hal ini akan sangat berdampak pada sektor usaha.
3.4.
Dampak
terhadap Tatanan Sosial
Masih
berkembangnya stigma dan diskriminasi terhadap pengidap HIV dan AIDS di tengah
masyarakat, akan berpengaruh secara signifikan terhadap tatanan sosial karena
pengidap HIV dan AIDS dapat kehilangan kasih sayang dan kehilangan kehangatan
pergaulan sosial.
Provinsi
Kalimantan Selatan yang dikenal dengan masyarakat yang religious, disamping
berdampak positif juga berdampak terhadap timbulnya stigma dan diskriminasi di
lapisan masyarakat terhadap ODHA.
Orang
dengan HIV sebagian di antara mereka akan kehilangan pekerjaan dan sumber
penghasilan yang pada akhirnya akan menimbulkan kecemburuan sosial di
tengah-tengah masyarakat. Keretakan rumah tangga pun dapat terjadi, Jumlah anak
yatim piatu akan bertambah yang akan berimbas pada masalah sosial tersendiri.
4.
ISU-ISU
PENTING
4.1.
Hubungan
Seks Beresiko
Dampak
negatif dari pertumbuhan industri di Indonesia selalu dibarengi dengan
munculnya hubungan seks beresiko, tidak terkecuali di Kalimantan Selatan.
Jumlah pekerja seks baik perempuan, laki-laki dan waria meningkat dari tahun ke
tahun. Dari data jumlah kasus di HIV AIDS di Kalimantan Selatan, dominan di
temukan pada kelompok berisiko seksual.
Pekerja
Seks (PS) yang terkonsentrasi pada suatu tempat tertentu dan umumnya pula berada
dilingkungan bisnis hiburan, seperti karaoke, restoran, salon kecantikan, panti
pijat, dan lain sebagainya. PS merupakan sub populasi berperilaku resiko tinggi
bersama dengan waria, lelaki seks dengan lelaki.
Menurut
estimasi KPA Nasional, jumlah orang yang berperilaku resiko tinggi di
Kalimantan Selatan tergambar dalam tabel berikut ini:
No
|
KAB/KOTA
|
PENASUN
|
WPS
|
PELANGGAN
|
LSL
|
WARIA
|
1
|
|
2.730
|
500
|
5.470
|
2.800
|
130
|
2
|
Tanah
Bumbu
|
1.000
|
390
|
5.760
|
280
|
110
|
3
|
Tabalong
|
840
|
70
|
990
|
230
|
10
|
4
|
Banjar
|
470
|
120
|
1.900
|
660
|
10
|
5
|
|
300
|
300
|
2.560
|
720
|
20
|
6
|
Tanah
Laut
|
290
|
70
|
1.060
|
320
|
10
|
7
|
Hulu
Sungai Utara
|
210
|
|
|
240
|
80
|
8
|
Hulu
Sungai Tengah
|
260
|
|
|
280
|
|
9
|
Hulu
Sungai Selatan
|
220
|
|
|
240
|
|
10
|
Tapin
|
50
|
50
|
650
|
200
|
10
|
11
|
Barito
Kuala
|
30
|
|
70
|
320
|
|
12
|
Banjarbaru
|
110
|
180
|
2.720
|
180
|
80
|
13
|
Balangan
|
110
|
120
|
40
|
120
|
|
4.2.
Work
Place HIV dan AIDS
Maraknya
pertambangan dan industri yang mempekerjakan ribuan tenaga kerja dengan
berbagai jenis pekerjaan menjadi salah satu predisposing
factor (faktor penguat) yang memicu
penularan HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan.
Sektor
pertambangan batu bara, biji besi, industri kayu dan manufaktur menyerap tenaga
kerja yang cukup besar. Titik berat intervensi lebih difokuskan pada sektor
pertambangan, khususnya batu bara karena disadari pada sektor ini diikuti oleh
munculnya industri prostitusi dan penggunaan NAPZA.
4.3.
Jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan (WPB)
Jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Kalimantan
Selatan dari tahun ke tahun meningkat. Sampai dengan tahun 2008, jumlah WBP di
Kalimantan Selatan (Sumber:DEPKUMHAM
Kalsel, 2008) adalah sebagai berikut : Banjarmasin (990 orang); Tabalong
(140 orang); Banjar (455 orang); Kotabaru (388 orang); Tanah Laut (163 orang);
Hulu Sungai Utara (286 orang); Hulu Sungai Tengah (67 orang); Hulu Sungai
Selatan (103 orang); Tapin (82 orang); dan Barito Kuala (87 orang).
Berdasarkan pengamatan pada sejumlah Lapas di Kalimantan Selatan
ternyata sejumlah Lapas yang ada sudah tidak memenuhi syarat lagi untuk di
tempati dikarenakan sudah melebihi kapasitas daya tampung yang ideal, di
samping itu juga adanya perilaku seksual di antara sesama penghuni lapas yang
dianggap menyimpang. Keadaan ini mempengaruhi penyebaran HIV dan AIDS di
Kalimantan Selatan.
4.4.
Stigma
dan Diskriminasi
Umumnya
pengetahuan, pemahaman dan kepedulian masyarakat, keluarga dan OHIDA terhadap masalah
HIV dan AIDS masih rendah. Perlakuan yang buruk dan pengucilan dari pergaulan
sosial terhadap pengidap HIV dan AIDS masih sering terjadi dan ditemukan
ditengah-tengah masyarakat dan keluarga.
Kekurangpahaman
masyarakat ini terjadi karena kurangnya sosialisasi tentang HIV dan AIDS dengan
berbagai media dan pendekatan. Akibat lebih jauh adalah memicu berkembangnya
stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODHA untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan, di tempat kerja, pelayanan publik.
4.5.
Penasun
(Pengguna Napza Suntik)
Tingginya
penggunaan narkoba dapat menimbulkan bertambahnya pengguna Napza jarum suntik
di Kalimantan selatan. Ditengarai pula
penggunaan Napza suntik di daerah tambang masih tinggi karena masih lemahnya
pengawasan dan akses yang jauh dari keramaian karena beroperasi jauh di pedalaman.
Konsekuensi logis dari perilaku ini adalah semakin besarnya perilaku berisiko
tinggi terhadap penularan HIV dan AIDS.
4.6.
Ibu
dan Anak
Di
Kalimantan Selatan ditemukan beberapa kasus HIV dan AIDS pada ibu dan anak. Sejauh ini kasus tersebut
masih menjadi bahan polemik. Kasus HIV dan AIDS dominan ditemukan pada kelompok
ibu dalam usia produktif. Meskipun
sampai saat ini belum ada data yang valid mengenai berapa jumlah ibu yang
terkena HIV dan AIDS. Namun, berdasarkan hasil sero survey jumlah penderita HIV
dan AIDS pada kelompok ibu muda di Kalimantan Selatan adalah besar.
4.7.
Pendanaan
Estimasi
pendanaan untuk menanggulangi HIV dan AIDS, sebagaimana tergambar dalam tabel
di bawah ini :
Sedang
estimasi kebutuhan dana RAN, dana yang tersedia, dan kekurangan dana,
sebagaimana terlihat dalam tabel berikut ini :
5.
TANTANGAN
5.1.
Stigma
dan Diskriminasi
Tantangan
utama dan potensial yang menghambat pelaksanaan program pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan adalah masih adanya
stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODHA di masyarakat. Perilaku
diskriminasi sering dialami oleh ODHA baik di unit pelayanan kesehatan, tempat
kerja, di tempat pelayanan publik, lingkungan keluarga, dan masyarakat umum.
Meminimalisir
keadaan tersebut di atas haruslah menjadi bagian integral dan prioritas utama
dari upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Oleh karenanya, sangat
perlu dukungan dan peran aktif berbagai pihak baik sektor pemerintah, pengusaha,
tokoh agama, tokoh masyarakat, dan masyarakat umum dalam mengatasi stigma dan
diskriminasi sangat diperlukan. Komunikasi
yang jujur tentang HIV dan AIDS, cara penularan dan pencegahan di antara sesama
menjadi sangat penting untuk dilaksanakan.
5.2.
Norma-Norma
dan Perilaku Sosial
Sampai
saat ini masih berkembang pandangan negatif sebagian masyarakat terhadap
kampanye penggunaan kondom untuk hubungan seks yang aman. Pandangan tersebut
sangat mempengaruhi dan mempercepat jalannya epidemi HIV.
Komunikasi
yang buruk di antara pasangan dalam kebutuhan seksual dengan tidak menempatkan
posisi perempuan setara dengan laki-laki, rasa ketergantungan perempuan
terhadap laki-laki secara emosi dan sosial ekonomi, telah mengurangi daya tawar
dan kemampuan perempuan untuk meminta hubungan seks yang aman sebagai rasa
tanggungjawab kesehatan.
5.3.
Koordinasi
Multipihak terhadap Respon
Untuk
mencegah dan menanggulangi HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan sungguh sangat
tidak mungkin dilakukan oleh KPA sendiri. Oleh karena itu, sebagai
tindak-lanjut dari adanya respon positif dan efektif terhadap HIV harus
didasarkan kebersamaan dengan melibatkan dan mengikut-sertakan seluruh komponen
lapisan masyarakat.
Sangat
penting dukungan dari pemerintah sebagai instansi pengambil kebijakan dan
komitmen politik untuk mensukseskan usaha pencegahan dan penanggulangan HIV dan
AIDS. Meskipun telah banyak masyarakat yang menyuarakan pentingnya pencegahan
dan penanggulangan HIV dan AIDS, tetapi adanya kemauan politis masih sangat dibutukan.
Komitmen politis dan dinamika nyata yang berkesinambungan serta kepemimpinan
yang menyentuh banyak orang sajalh yang dapat melawan epidemi HIV dan AIDS.
Keterlibatan
instansi, lembaga, organisasi, pengusaha dan seluruh lapisan masyarakat dalam
sebuah bingkai koordinasi yang dinamis akan sangat membantu suksesnya
percepatan dalam penanggulangan epidemi, tidak hanya terbatas pada adanya niat
baik tetapi harus dibarengi dengan tindakan nyata di lapangan.
5.4.
Kebutuhan
Remaja dan Dewasa Muda
Penderita
HIV dan AIDS dalam kenyataan di lapangan banyak berasal dari kalangan usia muda
produktif, hal ini berbanding lurus dengan semakin banyaknya pengguna NAPZA.
Oleh karena itu, pada saat usia menginjak remaja dan dewasa muda, seharusnya di
kalangan mereka inilah yang menjadi kelompok sasaran komunikasi dan edukasi
agar tidak masuk dalam kelompok resiko tinggi.
Hasil
studi tahun 2005 di 4 kota besar di Indonesia
menunjukkan bahwa pengalaman pertama hubungan seks diluar nikah dilakukan pada
kisaran umur 18 tahun. Oleh karena itu, pemberian informasi kesehatan seksual
dan kesehatan reproduksi pada kalangan remaja dan dewasa muda menjadi sesuatu
yang penting dan tidak menabukan masalah tersebut.
5.5.
Kebutuhan
memperluas Perawatan, Pengobatan dan Dukungan
Sejak ditemukan pertama kali di Kalimantan Selatan tahun
2002, jumlah penderita HIV dan AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Kondisi ini membawa konsekuensi terhadap adanya prioritas perbaikan dan
peningkatan kualitas perawatan HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan.
Sampai saat ini sebanyak 4 RSUD di Kalimantan Selatan
(RSUD Ulin, RSU Anshari Saleh, RSUD Pembalah Batung, dan RSUD Kotabaru) telah
siap melakukan perawatan dan pengobatan ARV meskipun dengan keterbatasan
fasilitas, harus diakui bahwa kinerja RSU tersebut belum berjalan dengan
optimal. Tetapi kedepannya, perawatan
dan pengobatan perlu diperluas jangkauannya dengan menyertakan Puskesmas
sebagai upaya mendekatkan pelayanan masyarakat yang membutuhkan, khususnya
Puskesmas yang mempunyai hotspot perilaku beresiko.
Pelatihan terhadap tenaga kesehatan perlu ditingkatkan
kuantitas maupun kualitasnya dengan menitikberatkan pada terbentuknya koordinasi
disemua lini agar mereka mempunyai
kepedulian dan mau melakukan pemberian pelayanan pencegahan, perawatan,
pemberian ARV, pengobatan infeksi oportunistik, dukungan psikososial dan
meningkatkan nutrisi pada penderita HIV dan AIDS.
5.6.
Lemahnya
Sistem Screening Darah
Sistem
transfusi darah di PMI, sebenarnya sangat membantu banyak orang yang
membutuhkan, tetapi jika darah tersebut terinfeksi HIV justru akan menimbulkan
masalah bagi membutuhkan.
Oleh
karena itu, sistem transfusi darah yang seharusnya diberlakukan harus
melewati proses konseling yang dapat
membuka pola perilaku orang tersebut, apa pernah mempunyai perilaku beresiko. Jika
kemudian jawaban pernah, maka perlu menunggu sampai 6 bulan, karena dalam
jangka waktu tersebut masih dalam masa jendela yang tidak memungkinkan
memastikan seseorang positif atau negatif HIV.
BAB II
STRATEGI
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
1.
VISI
DAN MISI
1.1.
Visi
Terkendalinya penyebaran epidemi HIV dan AIDS di Propinsi
Kalimantan Selatan
1.2.
Misi
a. Meningkatkan
kesadaran dan kepedulian terhadap HIV dan AIDS
b. Mengurangi
stigma dan diskriminasi terhadap ODHA
c. Meningkatkan
akses dan penguatan sistem pelayanan kesehatan
d. Meningkatkan dan memberdayakan kualitas hidup ODHA
e. Membentuk
dan memperkuat koordinasi jejaring lintas sektor
2.
TUJUAN
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
2.1.
Tujuan
Umum
Mencegah
dan mengurangi penularan HIV dengan mendorong dan melibatkan seluruh komponen
masyarakat dan meningkatkan kualitas hidup ODHA serta mengurangi dampak sosial
dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat.
2.2.
Tujuan
Khusus
a. Menyediakan,
menyebarluaskan informasi dan menciptakan suasana yang kondusif dalam rangka mendukung
upaya penanggulangan HIV dan AIDS dengan menitikberatkan pencegahan pada sub
populasi berperilaku berisiko dan lingkungannya dengan tetap memperhatikan
sub-populasi lainnya.
b. Menyediakan
dan meningkatkan mutu pelayanan perawatan, pengobatan dan dukungan kepada ODHA
yang terintegrasi dengan upaya pencegahan.
c. Meningkatkan peran serta remaja, perempuan, keluarga dan
masyarakat umum termasuk ODHA dalam berbagai upaya penanggulangan HIV dan AIDS.
d. Mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara lembaga
penerintah dan masyarakat sipil, antara lain :
LSM, sektor swasta, dunia usaha organisasi profesi, dan mitra
internasional di daerah untuk meningkatkan respon terhadap HIV dan AIDS.
e. Meningkatkan koordinasi kebijakan di daerah serta
inisiatif lokal dalam penanggulangan HIV dan AIDS.
3.
DASAR
HUKUM
3.1.
Peraturan Presiden, Nomor :
75 tahun 2006, tentang Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.
3.2.
Peraturan Menteri Dalam
Negeri, Nomor : 13 tahun 2006, tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
3.3.
Peraturan Menteri
Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Nomor : 3/PER/MENKO/KESRA/III tahun 2007,
tentang Susunan, Tugas, dan Fungsi Keanggotaan Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional.
3.4.
Peraturan Menteri
Koordinator Kesejahteraan Sosial, Nomor : 7/PER/MENKO/KESRA/III tahun 2007, tentang
Strategi Nasional Penanggulangan AIDS Indonesia, tahun 2007 – 2010.
3.5.
Peraturan Menteri
Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Nomor : 8/PER/MENKO/KESRA/ tahun 2007,
tentang Pemberlakuan Pedoman Nasional Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan HIV
dan AIDS di seluruh Indonesia .
3.6.
Surat
Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor : 188.44/0329
/KUM/2007 Tentang Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Kalimantan
Selatan.
4.
DASAR
KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
HIV
dan AIDS sangat erat kaitannya dengan perilaku beresiko, karenanya pencegahan
dan penanggulangannya harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
tersebut. Kenyataan di Kalimantan Selatan, persentase kasus HIV dan AIDS diidap
oleh sebagian besar mereka yang berperilaku beresiko --dengan tidak menafikan
HIV dan AIDS juga diidap oleh mereka yang tidak berperilaku beresiko— merupakan
sub-populasi yang dimarjinalkan.
Oleh
karena itulah, program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS harus tetap
mengedepankan pertimbangan kesehatan serta dengan memperhatikan nilai-nilai
keagamaan, adat istiadat dan norma masyarakat yang berlaku. Pelaksanaan program
tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, tentu harus juga mempertimbangkan
keterlibatan semua unsur di masyarakat melalui koordinasi multipihak.
Atas
dasar pemikiran tersebut di atas, maka kebijakan pencegahan dan penanggulangan
HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan adalah sebagai berikut :
4.1.
Upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS harus mengedepankan pertimbangan kesehatan,
nilai-nilai agama dan norma-norma kemasyarakatan serta kegiatannya diarahkan
untuk mempertahankan dan memperkokoh ketahanan dan kesejahteraan keluarga;
4.2.
Upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS diutamakan pada sub-populasi berperilaku berisiko
dengan tetap memperhatikan masyarakat yang rentan, termasuk di dalamnya
berkaitan karena pekerjaannya dan masyarakat yang termarjinalkan.
4.3.
Upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS diselenggarakan oleh berbagai masyarakat sipil
(LSM, KDS, ODHA, dan OHIDHA) sesuai dengan karakteristik lembaga masing-masing
dengan difasilitasi pemerintah atas dasar kemitraan yang berkewajiban untuk membimbing
dan menciptakan suasana yang kondusif untuk mendukung terselenggaranya upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.
4.4.
Upaya pencegahan dan
penanggulangan harus didasari bahwa masalah HIV dan AIDS sudah menjadi masalah
sosial kemasyarakatan serta masalah nasional di mana pencegahan dan
penanggulangannya dirumuskan melalui “Gerakan Nasional Penanggulangan HIV dan
AIDS”.
4.5.
Upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS harus tetap :
a. Menghormati harkat dan martabat manusia dari segi jenis
kelamin, orientasi seks, umur, suku, warna kulit, fisik, agama, aliran politik,
status sosial dan ekonomi.
b. Menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender,
demokrasi, keadilan sosial.
c. Melakukan pelayanan dengan pendekatan hak asasi manusia.
4.6.
Upaya
pencegahan HIV dan AIDS di kalangan anak sekolah, remaja dan masyarakat umum
yang tidak berperilaku berisiko diselenggarakan melalui komunikasi, informasi
dan edukasi dengan maksud untuk mendorong terciptanya kehidupan yang sehat.
4.7.
Upaya
penggunaan kondom 100% pada setiap hubungan seks berisiko terinfeksi HIV dan
AIDS semata-mata untuk memutus mata rantai penularan IMS, termasuk HIV.
4.8.
Upaya
mengurangi infeksi HIV pada pengguna NAPZA SUNTIK dilakukan melalui kegiatan
pengurangan dampak buruk (harm reduction)
yang dilaksanakan secara komprehensif.
4.9.
Upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS merupakan upaya yang terpadu dari
peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan, perawatan
berdasar dan fakta ilmiah serta dukungan terhadap ODHA.
4.10. Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV dan AIDS harus
didahului dengan memberikan penjelasan dan mendapat persetujuan yang
bersangkutan. Konseling harus dilakukan sebelum dan sesudah pemeriksaan dan
hasil pemeriksaan diberitahukan kepada yang bersangkutan dan dirahasiakan tidak
untuk konsumsi publik (VCT).
4.11. Diperlukan peraturan perundang-undangan dan regulasi
sebagai landasan hukum untuk kepastian hukum dan kesinambungan program
penanggulangan dan Pencegahan HIV dan AIDS.
4.12. Setiap pemberi pelayanan berkewajiban memberikan layanan
tanpa stigma dan diskriminasi kepada
ODHA dan OHIDHA.
4.13. Upaya pencegahan terhadap ibu dan anak merupakan elemen
penting dan bagian integral dari keseluruhan program pengendalian HIV AIDS.
5.
STRATEGI
Untuk
mencapai tujuan RENCANA STRATEGI KPA Propinsi Kalimantan Selatan, maka strategi
yang digunakan antara lain adalah :
5.1.
Meningkatkan
dan Memperluas Upaya Pencegahan yang Efektif.
Dalam
rangka Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS maka diperlukan adanya
peningkatan dan perluasan dengan mengutamakan pada upaya-upaya yang sudah nyata
efektif, seperti penggunaan kondom setiap saat berhubungan seks berisiko,
pengurangan dampak buruk penggunaan alat suntik yang tidak steril,
penanggulangan IMS dengan skala yang luas sehingga berdampak terhadap jalannya
epidemi dengan menurunnya insiden dan kasus HIV dan AIDS.
5.2.
Memberdayakan
Individu, Keluarga dan Komunitas dalam Pencegahan HIV di Lingkungannya.
Segala
daya dan upaya dilakukan untuk mendorong individu, keluarga dan komunitas agar
terlibat secara aktif dalam kegiatan pencegahan di lingkungannya masing-masing.
Oleh karena itu, individu, keluarga dan komunitas didorong agar mampu
melindungi diri dari bahaya terinfeksi HIV melalui berbagai bentuk komunikasi,
informasi, edukasi, advokasi.
Keterlibatan
banyak pihak dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS akan
mendorong perubahan tatanan sosial menuju kesetaraan gender dan kepedulian akan
kehidupan seksual yang aman dan sehat.
5.3.
Meningkatkan
dan Memperkuat Sistem Pelayanan Kesehatan Dasar dan Rujukan untuk Mengantisipasi
Peningkatan Jumlah ODHA yang memerlukan Akses Perawatan dan Pengobatan.
Peningkatan
upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS berart semakin meningkatnya cakupan pelayanan sehingga akan
terjadi peningkatan jumlah ODHA yang memanfaatkan perawatan dan pengobatan.
Oleh karena itu, dalam peningkatan dan perluasan kegiatan yang komprehensif maka
akan semakin banyak keterlibatan pusat pelayanan lain secara bertahap, seperti
Puskesmas.
5.4.
Meningkatkan
Kemampuan dan Memberdayakan SDM yang Terlibat.
Sumber
Daya Manusia (SDM) yang terlibat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV
dan AIDS yang bekerja dalam berbagai bidang dengan jumlah yang banyak seiring
dengan luasnya wilayah kegiatan. Keterlibatan mereka dalam kegiatan perlu diiringi
dengan peningkatan kualitas SDM dengan pelatihan sesuai dengan bidang kegiatan
yang ditekuni dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.
5.5.
Memobilisasi
Sumberdaya dan Mengefektifkan Penggunaannya
Perluasan
kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS akan sangat memerlukan dana
yang cukup besar. Dana yang diperoleh dari berbagai sumber akan dimobilisir
secara efektif dan tepat guna untuk tujuan yang jelas. Penumpukan dana pada satu kegiatan dengan melupakan dana
pada kegiatan yang lain sangat dihindari.
BAB III
AREA PRIORITAS PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
Situasi epidemi AIDS di Kalimantan selatan
sejak diidentifikasi pertama kali pada tahun 2002 sampai sekarang dengan 2008
menunjukkan bahwa Kalimantan Selatan secara epidemilogis masih dalam
tingkat epidemi terkonsentrasi. Hal ini
dapat dilihat pada angka prevalensi HIV dan AIDS serta IMS pada kelompok wanita
pekerja seks dan NAPI yang memperlihatkan kecenderungan terus meningkat dalam
beberapa tahun terakhir. Fakta terakhir juga menunjukkan adanya indikasi bahwa
kasus HIV dan AIDS sudah masuk dalam populasi umum. Meskipun kasusnya belum
besar, namun hal tersebut memberikan gambaran mengenai cepatnya epidemi
berlangsung di Kalimantan Selatan.
Pada dasarnya penyebaran HIV dan AIDS di
Kalimantan Selatan mengikuti sebuah pola atau alur yang saling terkait dengan membentuk
sebuah siklus penularan HIV. Pertambangan,
baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun perusahaan skala besar dan kecil mengakibatkan
mobilitas penduduk luar dan masuk Banjarmasin sangat dinamis, perusahaan
mempekerjakan ribuan karyawan dengan berbagai jenis pekerjaan mulai dari kegiatan
penambangan, pengangkutan dan transportasi sampai kegiatan kepelabuhanan yang
akhirnya melahirkan kelompok rentan tersendiri. Kehadiran industri dengan
ribuan pekerja pada akhirnya memunculkan lokalisasi-lokalisasi sebagai sebuah mutualisme. Pada sisi lain,
lokasi tambang yang terisolir dan proses
kerja yang cukup berat sangat memungkinkan mereka untuk mengkonsumsi NAPZA. Disadari
bahwa sektor ini sangat signifikan memicu lajunya aktivitas perekonomian, ada
anekdot yang berkembang di Banjarmasin bahwa untuk melihat marak tidaknya
tambang batu bara dapat dilihat dari tingkat keramaian pengunjung tempat
hiburan malam.
Dengan pola penyebaran tersebut, Program
Penanggulangan AIDS di Kalimantan Selatan diarahkan pada area program
pencegahan sebagai program prioritas, area program perawatan, pengobatan dan
dukungan, area surveilans, dan area kesinambungan penanggulangan.
1.
AREA PENCEGAHAN IMS, HIV DAN AIDS
Bahwa sesungguhnya mencegah itu lebih baik daripada mengobati dan
mencermati realitas penyebaran HIV AIDS di Kalimantan Selatan saat ini,
maka Area Pencegahan IMS, HIV dan AIDS
merupakan prioritas utama yang perlu dilakukan dengan tidak mengenyampingkan
tiga area lainnya. Intervensi dalam area pencegahan ini terutama diarahkan
untuk merubah pengetahuan, sikap dan perilaku, terutama pada kelompok resiko
tinggi.
Kelompok sasaran area pencegahan di
Kalimantan selatan, akan diarahkan kepada:
-
Orang/Kelompok yang berperilaku beresiko
dan beresiko tertular
Adalah
mereka yang karena perilakunya menempatkan dirinya sebagai kelompok berisiko,
termasuk dalam sub populasi ini adalah pekerja seks baik pria maupun wanita,
Waria pekerja seks, PENASUN, LSL dan Pelanggan Pekerja Seks atau Waria.
-
Orang yang tertular
Adalah
mereka yang sudah terinfeksi HIV. Pencegahan ditujukan untuk menghambat
perkembangan HIV, memelihara produktifitas dan meningkatkan kualitas hidup.
-
Orang/Kelompok rentan
Kelompok ini
adalah orang yang karena lingkup pekerjaan, lingkungan, dan kondisi
kesehatannya menyebabkan mereka rentan. Dalam sub-populasi ini adalah mereka
yang mobilitasnya tinggi, pekerja yang terpisah jauh dan lama dengan keluarga, TNI/Polri,
pelaut, tenaga kesehatan, ibu hamil, penerima transfusi darah, dan NAPI.
-
Populasi Umum
Populasi ini
adalah mereka yang tidak termasuk dari ketiga kelompok di atas, yaitu ibu rumah
tangga, masyarakat/dunia pendidikan, tokoh-tokoh masyarakat, agama, adat.
1.1.
Tujuan
Meningkatnya kemampuan individu untuk mencegah dan melindungi
dirinya agar tidak tertular HIV dan tidak menularkan kepada orang lain.
1.2.
Program
Untuk mencapai tujuan pencegahan dengan berbagai sasaran, maka
program yang dilaksanakan adalah sebagai berikut:
a.
KIE pada Populasi Umum dan kelompok rentan
Ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, perilaku dan kemampuan
untuk mencegah diri sendiri dan keluarga dari tertular HIV dan AIDS. Variasi
penggunaan media untuk KIE harus mempertimbangkan karakteristik kelompok
sasaran yang dituju.
Penyebarluasan dan peningkatan cakupan KIE meliputi semua kelompok
masyarakat dengan memperhatikan isi dan efektifitas serta kualitas pesan yang
disampaikan.
b. KIE terfokus pada kelompok berperilaku beresiko dan beresiko tertular
Ditujukan dalam rangka meningkatkan kecakapan dalam perlindungan khusus dan
konsistensi sikap positif terhadap upaya pencegahan.
Arah program lebih terfokus kepada perubahan perilaku langsung dari
kelompok berisiko. Model KIE dan media yang dipilih dikembangkan secara lebih
spesifik dan menjadi konsumsi terbatas hanya bagi kelompok beresiko.
c. Peningkatan
pelayanan VCT
Perluasan cakupan dengan jalan meningkatkan jumlah aksesibilitas
masyarakat, dan meningkatkan kualitas layanan dan SDM, terutama pada Rumah
sakit rujukan HIV dan AIDS. Sebagai entry
point semua pelayanan maka Klinik VCT di Rumah Sakit harus dipastikan keberadaannya dan berjalan
dengan sistem yang berorientasi terhadap klien.
Pengembangan model pelayanan VCT yang tidak hanya terpaku pada
model layanan VCT statis. Namun juga dikembangkan sejumlah model VCT yang lain
sesuai dengan kebutuhan.
Peningkatan sarana pendukung Konseling dan Diagnosis serta promosi
untuk meningkatkan jangkauan bagi masyarakat terutama kelompok berisiko dan
rentan.
d. Penjangkauan dan
Pendampingan RISTI
Di perlukan
keterlibatan multi pihak yang lebih kongkrit pada program ini, terutama
kelompok masyarakat. Besarnya jumlah sararan yang harus dijangkau serta
penyebarannya yang luas menyebabkan program ini tidak dapat dilakukan oleh satu
lembaga atau instansi saja. Universal akses yang ditujukan untuk menjangkau 80
% kelompok resiko tinggi merupakan tanggung jawab semua stakeholder di
Kalimantan Selatan.
e. Intervensi di Tempat Kerja (Work
Place)
Program penanggulangan HIV AIDS
menjadi program internal di perusahaan dan industri seharusnya menjadi
bagian dari kebijakan manajemen. Dengan mencermati banyaknya kelompok rentan di
tempat kerja, khususnya di sektor pertambangan maka program komprehensif perlu
dijalankan sebagai bagian integral dari perusahaan. Peningkatan program Out Reach, VCT, KIE, CUP 100% ditempat
kerja dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi.
f.
Peningkatan penggunakan kondom pada hubungan
seks berisiko
Termasuk didalamnya adalah Intervensi
Perubahan Perilaku (BCI), memastikan ketersediaan, distribusi serta sistem yang
memungkinkan kondom dipakai pada setiap hubungan seks berisiko. Keterlibatan lintas
sektor mutlak diperlukan untuk meminimalisir polemik tentang program kondom ini
di Kalimantan Selatan.
g.
Pengurangan dampak buruk penyalah-gunaan
NAPZA suntik.
Upaya penjangkauan dan pendampingan sangat penting dilakukan di Kalimantan
Selatan pada kelompok Penasun masih cukup kecil dan kelompok Penasun
kemungkinan jumlahnya cukup besar tapi belum diidentifkasi dan dijangkau.
Diperlukan adanya koordinasi dengan sektor terkait, khusunya POLRI,
mengingat beberapa bagian kegiatan cukup sensitif dengan masalah hukum. Disamping
itu diperlukan juga regulasi yang mendukung pelaksanaan program penanggulangan
dan pencegahan HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan.
h.
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi
(PMTCT)
Intervensi dimulai pada perempuan usia
produktif, penilaian resiko kehamilan bagi ibu dan bayinya, dukungan
psikososial bagi ibu positif dan pelibatan bidan, dokter kandungan dan
institusi pelayanan kesehatan Ibu dan anak dalam program ini.
Informasi, Juklak atau Juknis dan peningkatan
kemampuan PMTCT terutama ditujukan pada
institusi pemberi pelayanan KIA seperti Rumah sakit bersalin, Klinik ibu dan
anak, Praktek Dokter kandungan/anak dan Bidan.
i.
Penanggulangan infeksi menular seksual (IMS)
Peningkatan Surveilans untuk mengidentifkasi, penatalaksanaan kasus, dan
revitalisasi fungsi Puskesmas dalam pelayanan IMS.
j.
Penyediaan darah dan produk darah yang aman
Sistem Screening darah berjalan di semua Unit Transfusi darah sesuai protap
pada semua Palang Merah dan Rumah Sakit yang memiliki UTD (Unit Transfusi Darah)
dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam meloloskan darah.
Menghindarkan terjadinya pendonor langsung yang tidak melalui sistem screening.
k. Peningkatan
kewaspadaan universal
Kewaspadaan
Universal diterapkan pada semua unit pelayanan kesehatan secara benar, terutama
pada tindakan medik dan keperawatan yang rentan terpapar dan bagi petugas petugas
kesehatan, polisi, tenaga sosial, dan tenaga pemulasaraan jenazah.
Tersediannya sarana dan prasarana kewaspadaan universal yang cukup dan
mudah diakses oleh petugas pada semua layanan kesehatan.
2. AREA PERAWATAN, PENGOBATAN DAN DUKUNGAN KEPADA ODHA
Peningkatan jumlah kasus AIDS, faktor
geografis dan demografis yang menyebabkan layanan begitu luas. Kemampuan dan jumlah SDM yang
terbatas merupakan tantangan yang harus
dijawab oleh sarana pelayanan kesehatan untuk ODHA. Oleh karenanya diperlukan
upaya peningkatan jumlah dan mutu layanan yang optimal dalam memberikan
pelayanan perawatan, pengobatan dan dukungan.
Rumah Sakit Rujukan HIV AIDS yang ditetapkan mempunyai
kemampuan untuk penatalaksanaan kasus secara komprehensif dengan memberdayakan
ODHA dan OHIDA, memberikan pelayanan yang manusiawi tanpa diskriminasi dan
penyediaan sarana dan prasarana penunjang seperti: laboratorium, BAKHP,
reagensia, dan obat-obatan.
2.1.
Tujuan
Pencegahan penularan lebih lanjut infeksi HIV serta meningkatkan
kualitas hidup ODHA.
2.2.
Program
a. Peningkatan
sarana pelayanan HIV AIDS
Peningkatan akses
masyarakat dan kelompok berisiko dengan pelayanan yang bermutu dan manusiawi.
Rumah sakit rujukan memiliki pelayanan komprehensif yang meliputi semua jenis
program layanan yang dapat diakses, yaitu : VCT, CST, PMTCT, Laboratorium, ARV
dan lain-lain.
Program yang
terkait dengan peningkatan asupan gizi, olahraga, pemberian vitamin serta
program psikologis merupakan upaya yang mampu meningkatkan kualitas hidup ODHA.
b.
Peningkatan penyediaan, distribusi obat,
regensia dan diagnostik penunjang
Singkronisasi manajemen pengelolaan obat
antara Pusat dan provinsi dalam rangka mengantispasi kekosongan dan
keterlambatan persediaan, khususnya ARV. Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan
mengupayakan ketersediaan ARV sebagai buffer
stock, obat-obatan Infeksi Opurtunistik, reagensia dan sarana Diagnostik
Penunjang.
Upaya perbaikan mekanisme rujukan antar sarana
pelayanan kesehatan baik rujukan, satelit maupun sarana lainnya untuk
meningkatkan akses layanan yang bemutu.
c. Pendidikan dan Pelatihan
Peningkatan pengetahuan
dan keterampilan bagi provider di
sarana pelayanan kesehatan terus ditingkatakan, khususnya dalam pelayanan VCT,
CST, PMTCT, Laboratorium, Manajemen Kasus, dan Pengelolaan Logistik.
Upaya pendidikan
dan pelatihan dilakukan secara berkelanjutan dan berkualitas, dimulai rekruiment petugas yang tepat berdasarkan
kompetensi dan bidang kerja, perbaikan mutu dan peningkatan frekuensi
pelatihan.
d. Pendampingan dan
dukungan terhadap ODHA
Program
pendampingan dan dukungan dilakukan secara aktif dan melibatkan peran serta
kelompok-kelompok dukungan sebaya, kelompok orang yang terinfeksi HIV, OHIDHA
maupun LSM Peduli HIV dan AIDS. Menempatkan ODHA sebagai pelaku utama pada
program ini sangat bermanfaat untuk mencapai tujuan pendampingan, disamping itu
akan memicu kemandirian dan pemberdayaan ODHA dalam arti yang sebenarnya.
Keberhasilan
program pengobatan sangat dipengaruhi oleh program pendampingan dan dukungan
yang diberikan kepada orang dengan HIV dan AIDS.
e.
Perlindungan, Perawatan dan Dukungan pada
Anak yang Berisiko
Prevalensi HIV dan AIDS pada perempuan dengan usia yang masih produktif cukup tinggi di Kalimantan
Selatan. Program kedepannya harus mengakomodir program yang nyata pada anak
yang beresiko. Karakteristik anak yang unik memerlukan pola pendekatan yang
berbeda dan spesifik, muatan-muatan psikologis lebih dominan ditonjolkan disamping
menjamin adanya ketersediaan sarana dan prasarana untuk perawatan dan
pengobatan bagi anak.
3.
AREA SURVEILANS HIV DAN AIDS SERTA IMS
Pemantauan terhadap kecenderungan pola penyebaran dan faktor
resiko dengan mempertimbangkan aspek manusia, waktu dan tempat dilakukan secara
terus menerus dan periodik. Setiap upaya pemantauan menghasilkan dokumen
pencatatan dan pelaporan berdasarkan format baku yang telah disepakati secara nasional.
Kegiatan survailans diharapkan menyediakan data dan informasi yang
valid dan up to date sebagai bahan
untuk menyusun perencanaan tindak lanjut dan program yang akan dilaksanakan.
Upaya ini menjamin sebuah siklus pengumpulan, pengolahan, analisa, diseminasi
data dan informasi yang akan digunakan oleh pemangku kepentingan untuk
mengambil keputusan dan kebijakan.
3.1.
Tujuan
Memperoleh data
dan informasi yang valid tentang besaran, kecenderungan dan distribusi
penyebaran HIV dan AIDS serta factor-faktor yang mempengaruhinya.
3.2.
Program
a.
Peningkatan survailans HIV
Surveilan HIV
dilaksanakan secara berkala minimal sekali dalam setahun terhadap sub-populasi
berisiko. Peningkatan cakupan wilayah dan kelompok sasaran dilakukan agar informasi
yang didapatkan benar-benar menggambarakan situasi epidemik yang sebenarnya
terjadi.
b.
Peningkatan survailans perilaku
Terutama untuk
menapatkan gambaran mengenai perilaku seksual dan NAPZA di populasi umum
khususnya populasi strategis seperti generasi muda yang diwakili oleh pelajar
tingkat pertama dan menengah serta mahasiswa. Pengembangan metode yang tepat
diperlukan untuk mengali data dan informasi yang valid dan mencerminkan situasi
perilaku pada masa tertentu. Pelaksanaan Surveilans disesuaikan dengan
kecendrungan-kecendrungan perubahan perilaku dan waktu.
c.
Peningkatan survaillans IMS
Pelaksanaan
Surveilans IMS menjadi kegiatan yang tidak terpisahkan dengan surveilans HIV,
kecendrungan sasaran yang sama memungkinkan kedua kegiatan dilakukan secara
bersamaan.
Puskesmas dapat
dikembangkan untuk melakukan kegiatan pemantauan IMS secara berkala di wilayah
kerjanya, khususnya bagi Puskesmas yang diwilayah kerjanya terdapat Hot Spot
perilaku beresiko.
d. Peningkatan kapasitas laboratorum IMS dan HIV
Ketersediaan sarana dan prasarana penunjang seperti reagen dan alat
diagnostik diupayakan untuk mengantisipasi peningkatan kasus IMS dan HIV.
Diperlukan peningkatan kemampuan SDM dan jangkauan pelayanan, khususnya
bagi kabupaten/Kota yang minim sarana dan prasarana.
e.
Peningkatan mutu laporan
Pembakuan format
pelaporan yang disepakati dan dilaksanakan oleh petugas surveilans pada semua tingkatan.
Perbaikan mekanisme
pelaporan secara berjenjang dan tepat dari aspek isi laporan dan waktu
pengiriman laporan.
Upaya pengumpulan, pengolahan, analisa dan diseminasi dilakukan mulai pada
tingkat kabupaten, propinsi dan pusat.
4. AREA KESINAMBUNGAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
Masalah HIV dan AIDS bukan hanya masalah kesehatan semata, tapi
merupakan sebuah persoalan sosial yang sangat luas dan kompleks, oleh karenanya
pendekatan untuk program pencegahan dan penanggulangannya juga mesti melibatkan
berbagai pihak dan sektor yang terkait. Pemerintah, swasta dan masyarakat sipil
dengan berbagai komponennya merupakan pelaku utama dalam program ini, namun
disadari bahwa peran masyarakatlah yang menjadi titik tumpuh utama dari
implementasi program penanggulangan HIV dan AIDS.
Mengingat banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat dalam upaya
penanggulangan HIV dan AIDS dan adanya spesifikasi peran dari masing-masing sektor mengakibatkan
perlunya koordinasi serta harmonisasi dari tiap sektor untuk menjamin keberlangsungan
program secara keseluruhan. Apabila salah satu sektor tidak berperan dengan
baik akan berdampak pada lemahnya sistem penanggulangan HIV dan AIDS.
Kesinambungan penanggulangan HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan
sangat dipengaruhi oleh adanya political
will dan komitmen pengambil kebijakan, kepemimpinan yang kuat, pembiayaan
yang tersedia terus menerus, komitmen pelaksana program serta kepedulian dan
keterlibatan semua unsur masyarakat.
4.1.
Tujuan
Menjamin kelangsungan upaya pencegahan penanggulangan HIV dan AIDS
pada setiap tingkatan administrasi melalui komitmen yang tinggi, kepemimpinan
yang kuat, didukung oleh informasi dan sumberdaya yang memadai.
4.2.
Program
a. Advokasi
Program advokasi
dilaksanakan secara terencana, terpadu dan terus menerus. Dimaksudkan untuk
mendapatkan dukungan pengambil kebijakan di tingkat provinsi dan Kab/Kota se-Kalimantan
Selatan. Keberhasilan advokasi akan menjamin keberlangsungan program dan
dukungan anggaran yang berkesinambungan.
Pelaksanaan
advokasi tentunya mempertimbangkan sejumlah faktor seperti kondisi
masing-masing daerah, peta kekuasaan dan kecenderungannya, dan model
kepemimpinan para pengambil kebijakan serta situasi kultur politik di
masing-masing daerah.
b. Regulasi atau Perundang-undangan
Dilakukan
melalui pembuatan produk hukum untuk mengayomi dan menjadi bingkai pelaksanaan
program agar berjalan secara bertanggung jawab, terus menerus dan didukung
terutama oleh pengambil kebijakan.
Penyusunan
Renstra, Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota sampai kepada Perda Penanggulangan
HIV dan AIDS sangat penting bagi kesinambungan penanggulangan. Regulasi yang
dibuat pada tingkat provinsi dapat mengakomodir kekhasan dan potensi tiap-tiap
daerah.
c.
Peningkatan Jumlah dan Kualitas SDM
Dilakukan
melalui upaya pendidikan dan pelatihan, on
the job training dan pemagangan tenaga dan provider ke institusi yang layak
menjadi model penanggulangan yang baik. Pemilihan orang-orang yang tepat untuk
dilatih sangat penting agar SDM yang dihasilkan dapat berhasil guna. Disamping
itu penyebaran tenaga terlatih dilakukan secara proporsional pada semua wilayah
dan institusi pelayanan.
d. Peningkatan
sarana dan prasarana
Peningkatan
kualitas dan jumlah sarana dan prasarana pelayanan HIV dan AIDS serta kemudahan
akses bagi masyarakat yang membutuhkan. Upaya mempertahankan mutu sarana
melalui pemeliharaan yang baik.
e. Mobilisasi
sumberdaya
Identifkasi dan
upaya penggalangan sumber daya dilakukan dengan melibatkan semua sektor secara aktif.
Dalam rangka kesinambungan penanggulangan HIV dan AIDS perlu dibuat
perencanaan, kebijakan dan mekanisme mobilisasi sumber daya, baik manusia,
sarana dan anggaran.
Mobilisasi
sumber daya dimaksudkan untuk menggali dan memberdayakan potensi-potensi yang
ada diberbagai sektor (Pemerintah, Swasta, Perusahaan, Masyarakat, dan Donor Internasional)
BAB IV
PENYELENGGARA
UPAYA PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
1.
PEMERINTAH PROVINSI
Dinas-dinas provinsi, kantor wilayah dari instansi pusat di provinsi,
komando TNI dan POLRI di provinsi menyelenggarakan upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS dipimpin oleh Gubernur. Pemerintah provinsi
memfungsikan KPA Provinsi dan menyediakan sumberdaya untuk kegiatan pencegahan
dan penanggulangan di provinsi.
2.
PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA
Dinas-dinas kabupaten/kota, kantor departemen dari instansi pusat
di kabupaten/kota, komando TNI dan POLRI di kabupaten/kota menyelenggarakan
upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS yang dipimpin oleh
Bupati/Walikota. Pemerintah kabupaten/kota membentuk dan mengfungsikan KPA
Kabupaten/Kota dan menyediakan sumberdaya untuk kegiatan pencegahan dan
penanggulangan di Kabupaten/Kota .
3.
PEMERINTAH KECAMATAN DAN KELURAHAN/DESA
Di wilayah kecamatan dan kelurahan yang berpotensi adanya penularan
HIV maka dapat dibentuk “Satuan Tugas Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan
AIDS yang dipimpin oleh Camat dan Lurah/Kepala Desa. Tugas utamanya adalah
menggerakkan masyarakat untuk ikut serta dalam pencegahan dan penanggulangan
HIV dan AIDS yang dirancang oleh KPA Kabupaten/Kota.
4. DPRD PROVINSI DAN DPRD KABUPATEN/KOTA
DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan
kepedulian yang tinggi menampung informasi dari masyarakat tentang situasi HIV
dan AIDS di wilayah jurisdiksinya dan sesuai dengan tugas dan fungsinya
membantu upaya pencegahan dan penanggulangan. Bersama KPA Provinsi dan KPA
Kabupaten/Kota dapat membentuk “Forum Komunikasi”.
5.
KPA PROVINSI DAN KABUPATEN
KPA Provinsi dan KPA Kabupaten/Kota dapat dibentuk dan dipimpin
masing-masing oleh Gubernur dan Bupati/Walikota. KPA Provinsi dan KPA Kabupaten/Kota di Kalimantan
Selatan membantu kelancaran pelaksanaan tugas KPA Nasional.
Tugas pokok dan fungsi KPA Propinsi dan
Kabupaten/Kota, adalah :
5.1.
Merumuskan kebijakan, strategi dan langkah-langkah yang diperlukan dalam
rangka pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di wilayah Kalimantan Selatan
sesuai dengan kebijakan, strategi dan pedoman yang ditetapkan oleh KPA
Nasional. Implementasi dari tugas pokok tersebut meliputi fungsi-fungsi sebagai
berikut:
1) Memimpin, mengelola dan mengkoordinasikan kegiatan pencegahan,
pengendalian dan penanggulangan HIV dan AIDS di wilayah Kalimantan Selatan.
2) Menghimpun, menggerakkan dan memanfaatkan sumberdaya yang berasal
dari pusat, daerah, masyarakat dan bantuan luar negeri secara efektif dan
efisien.
5.2. Melakukan bimbingan dan pembinaan kepada pemangku kepentingan
dalam pencegahan, pengendalian dan penanggulangan HIV dan AIDS di wilayah
Kalimantan Selatan.
5.3.
Melakukan
monitoring dan evaluasi pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS
dan menyampaikan laporan secara berkala dan berjenjang.
6.
MASYARAKAT SIPIL
6.1.
Lembaga Swadaya Masyarakat
LSM dan Organisasi Non-Pemerintah lainnya seperti kelompok
dukungan sebaya mempunyai peranan penting dan kontribusi yang besar terhadap
kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, karena mampu menjangkau
sub populasi berperilaku beresiko dan menjadi pendamping dalam proses perawatan
dan pengobatan.
6.2.
Dunia Usaha dan Sektor Swasta
Jenis pekerjaan, lingkungan dan tempat kerja berpotensi bagi
pekerja untuk terinfeksi HIV. Organisai Perburuhan Internasional (ILO) mengakui
bahwa HIV dan AIDS sebagai persoalan dunia. Oleh karena itu, prinsip utama
kaidah ILO tentang HIV dan AIDS perlu diimplementasikan di dunia kerja di Indonesia
melalui kesepakatan TRIPARTIT. Implementasi kaidah ILO tersebut dijabarkan
dalam program penanggulangan HIV dan AIDS di dunia kerja dan dilaksanakan
dengan bersungguh-sungguh.
6.3.
Tenaga Profesional, Organisasi Profesi dan
Lembaga Pendidikan Tinggi
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan
AIDS memerlukan pelibatan tenaga profesional, baik secara individu maupun melalui
organisasi profesi dan lembaga pendidikan tinggi. Para professional berperan
dalam perumusan kebijakan, penelitian, dan riset operasional.
6.4.
Lembaga Kemasyarakatan
Lembaga kemasyarakat seperti PKK, Karang Taruna, Pramuka,
Organisasi Keagamaan, Kelompok Kesenian, dan lain sebagainya mempunyai peran
yang penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Peran tersebut
dalam komunikasi publik, menerima dan selanjutnya menyampaikan informasi dengan
benar dan tepat ke masyarakat umum.
6.5.
Masyarakat Umum dan Keluarga
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS memerlukan
dukungan masyarakat luas. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat mempunyai
tugas yang penting dan sangat mulia sebagai benteng dalam pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan.
Masyarakat umum berperan aktiv dalam membantu upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS di lingkungan masing-masing dengan memberikan
kemudahan dan menciptakan lingkungan yang kondusif.
6.6.
Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) dan OHIDHA
Peran ODHA dan OHIDHA mempunyai peran yang
sangat strategis dan penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan
AIDS. Selaras dengan prinsip Greater
Involvement of Propel with AIDS (GIPA) ODHA berhak berperan pada semua
tingkat proses pencegahan dan penanggulangan mulai dari tingkat perencanaan,
implementasi, monitoring dan evaluasi sampai pada perumusan kebijakan.
BAB V
KERJASAMA
INTERNASIONAL, PELAKSANAAN RENSTRA
DAN
PENDANAAN
1.
KERJASAMA
INTERNASIONAL
KPA
Provinsi Kalimantan Selatan dengan difasilitasi KPA Nasional bermitra dengan
berbagai pihak donor internasional, baik melalui kerjaasama bilateral maupun
multilateral sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS. Bantuan-bantuan tersebut diharapkan dapat bermakna
diantaranya untuk meningkatkan kelembagaan KPA di Provinsi dan Kabupaten/Kota;
program pencegahan HIV dan AIDS; pengobatan, perawatan dan pemberdayaan ODHA
dan OHIDHA; program pengurangan dampak buruk di kalangan penasun. Bantuan mitra
internasional diperlukan untuk mendukung kegiatan prioritas HIV dan AIDS di
Kalimantan Selatan untuk tahun 2009 – 2014.
KPA
Provinsi dengan difasilitasi KPA Nasional diharapkan akan menuju harmonisasi
dan koordinasi di antara mitra lembaga donor internasional dan sektor
pemerintah pada level nasional. Sementara KPA Provinsi, akan memfasilitasi
menuju harmonisasi dan koordinasi di antara mitra, sektor pemerintah dan
pemangku kepentingan lainnya (masyarakat, dunia usaha, dan LSM). Hal ini
bertujuan agar bantuan yang diperlukan dapat tersedia dan dapat memenuhi
kebutuhan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di daerah.
2.
PELAKSANAAN
RENSTRA
RENSTRA
KPA Provinsi Kalimantan Selatan dilaksanakan sejalan dengan pembangunan di daerah
Kalimantan Selatan. Pelaksanaan tersebut harus berjalan konsisten dengan
tujuan-tujuan kebijakan yang ingin dicapai, serta ditujukan untuk merespon
situasi dan kondisi HIV dan AIDS di daerah. RENSTRA KPA Provinsi Kalimantan
Selatan merupakan dokumen yang bersifat terbuka sehingga dapat mengalami
perubahan atas dasar kebutuhan yang terjadi dikemudian hari.
Rencana
kerja yang dibuat oleh KPA Provinsi Kalimantan Selatan lebih lanjut akan disosialisasikan
kepada instansi dan pemangku kepentingan pada level propinsi dan kabupaten/kota
sebagai bahan rujukan untuk membuat rencana kerja.
3.
PENDANAAN
Sejak
ditemukan pertama kali kasus HIV di Kalimantan Selatan pada tahun 2002,
kecenderungan orang yang terinfeksi HIV semakin meningkat dalam setiap
tahunnya. Keadaan ini lebih disebabkan karena semakin meningkatnya perilaku
berisiko dengan pemahaman yang masih lemah untuk menghindari HIV dan AIDS. Sejalan
dengan semakin meningkatnya penularan HIV, program pencegahan dan penanggulangan
HIV dan AIDS juga semakin beragam dengan cakupan yang semakin luas. Maka untuk
mencapai tujuan program yang sudah diupayakan tersebut diperlukan dana yang
tidak sedikit.
Dana
untuk merealisasi program dalam RENSTRA KPA Provinsi Kalimantan Selatan sesuai
dengan Peraturan Presiden, Nomor : 75 tahun 2006 bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) dan sumber lain. Sumber lain dimaksud termasuk dana dari swasta,
masyarakat dan bantuan internasional.
Pelibatan
masyarakat dan dunia usaha untuk membantu pendanaan dalam program pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan melalui kegiatan-kegiatan mobilisasi dana
di bawah koordinasi KPA diberbagai tingkatan. Bantuan internasional dalam bentuk
hibah dan bantuan teknis untuk meningkatkan upaya yang tidak diartikan sebagai
pengganti dana yang bersumber dari APBN dan APBD.
Pengelolaan
dana menganut prinsip tranparansi, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas dan
harmoni. KPA Propinsi Kalimantan Selatan mengkoordinasikan mobilisasi dan
penggunaan dana untuk menjamin tidak terjadinya pemborosan dana dan terpenuhinya
prinsip tersebut dengan bimbingan KPA Nasional.
BAB VI
MONITORING,
EVALUASI DAN PELAPORAN
Secara subtansial, tujuan utama monitoring
dan evaluasi adalah untuk menjamin bahwa
program mencapai tingkat efesiensi dan akuntabilitas yang tinggi; membantu
sinergikan dan pelaksanaan program; memungkinkan tindakan korektif untuk
mengarahkan program; dan menghasilkan informasi yang berguna bagi pelaksanaan
program serta sebagai masukan untuk penyusunan program lanjutan.
Monitoring akan dilakukan secara berkala saat
program sedang berjalan di lapangan dan evaluasi di lakukan pada akhir tahun
program untuk mengetahui proses, out put
dan impact langsung maupun dampak
tidak langsung dari pelaksanaan program. Hasil monitoring dan evaluasi ini akan
dilaporkan secara berjenjang sesuai dengan Peraturan Presiden, Nomor : 75 Tahun
2006 untuk bahan menindak-lanjuti terhadap apa yang sudah terjadi di lapangan
dan apa yang akan dilakukan kedepannya.
Monitoring, evaluasi, dan pelaporan program
HIV dan AIDS secara nasional telah dirumuskan dan diterbitkan tahun 2006.
Pedoman dibuat sesederhana mungkin dan mudah digunakan sehingga dapat membantu
KPA pada setiap jenjang. Oleh karena itu, untuk memahami subtansial dan cara
pengisian laporan, perlu dilakukan pelatihan dan assistensi kepada semua pihak
yang mengelola program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di semua
jenjang.
Harus dimaklumi bahwa untuk merumuskan dan
kemudian melaksanakan program besar yang sudah dibingkai dalam RENSTRA KPA
Provinsi tidak seperti membalik telapak tangan, karena : kompleksitas masalah
yang dihadapi yang dapat berubah setiap saat dalam waktu yang cepat dan merealisasikan
dalam kegiatan sangat memerlukan dukungan sumber daya (manusia dan finansial). Akan
tetapi, dengan kepemimpinan yang berkomitmen kuat, konsisten dan berbekal
pengalaman dalam memecahkan masalah besar, maka upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS di Kalimantan Selatan akan menuai hasil yang
diharapkan.
BAB VI
P E N U T U P
Perumusan Rencana
Strategi (RENSTRA) KPA Provinsi Kalimantan Selatan merupakan bukti awal dari
adanya respon positif pemerintah dan masyarakat sipil menghadapi penyebaran
epidemi HIV dan AIDS di daerah ini yang semakin meningkat. Bukti awal tersebut
secara periodik harus mampu diimplementasikan dalam kegiatan-kegiatan di
lapangan. Melalui adanya RENSTRA ini, dapat menjadi inspirasi untuk
dikembangkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan sebagai upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS secara komprehensif, berkesinambungan, sinergi,
harmonis dan dinamis.
Memang harus disadari
bahwa untuk menterjemahkan RENSTRA KPA Provinsi Kalimantan Selatan dalam bentuk
kegiatan-kegiatan praktis dan mengenai sasaran tidaklah mudah, karena
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS menghadapi kompleksitas yang besar
di mana dapat berubah dengan cepat dan dalam waktu yang singkat. Karenanya
diperlukan dukungan yang besar dari seluruh lapisan masyarakat.
Sebagai harapan yang
sangat besar dengan di bawah kepemimpinan yang mempunyai kemauan politik, komitmen
yang tinggi yang diterapkan secara konsisten, tentu tidak ada masalah yang
tidak dapat dipecahkan.
Semoga !
0 komentar:
Posting Komentar